Taman Edukasi Tsunami di Punge Blang Cut (Foto M Iqbal)KEMARIN, 26 Desember delapan tahun yang lalu, tepatnya 2004, bumi Aceh bergetar hebat. Saking kuatnya, getaran itu melu­luh­lantakan kota Serambi Makkah itu.

Gempa tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di Samudra India (2,9 LU dan 95,6 BT di kedalaman 20 km (di laut berjarak sekitar 149 km selatan kota Meulaboh, Nanggroe Aceh Darus­salam). Gempa itu disertai gelombang pasang (Tsunami) yang menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia (Aceh dan Sumatera Utara), Sri Langka, India, Bangladesh, Malaysia, Maladewa dan Thailand.

Hampir seperempat juta orang kehilangan ke­hidu­pan­nya, karena tsunami yang bergolak di Samudera Hindia. Duka itu masih ada.

Bicara tentang bencana, memang Indonesia ini dijuluki sebagai negeri bencana. Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Per­seri­katan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengu­rangan Risiko Bencana (UN-ISDR).

Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, dan gunung berapi.

Kendati nyatanya bencana masih menghantui Indonesia, namun minimnya anggaran membuat warga bakal lama mendapat bantuan saat bencana besar melanda. Sebab, alokasi dana cadangan penanggula­ngan bencana hanya sekitar Rp 4,5 trilyun per tahun. Ter­lalu kecil untuk membackup semua bencana besar atau kecil yang terjadi di Indonesia.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho pernah merinci total dampak 10 bencana besar di Indonesia. Seluruhnya mencapai Rp 106,7 triliun dengan rincian tsunami Aceh dan Nias 2004 Rp 41,4 triliun, dan gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah 2006 Rp 29,15 triliun.

Lantas, gempa bumi Sumatera Barat 2007 Rp 2,45 triliun, banjir Jakarta 2007 Rp 5,18 triliun, gempa bumi Bengkulu 2007 Rp 1,88 triliun, gempa bumi Sumatera Barat 2009 Rp 20,87 triliun, tsunami Mentawai 2010 Rp 348 miliar, banjir bandang Wasior 2010 Rp 281 miliar, dan erupsi Merapi 2010 Rp 3,56 triliun.

“Tahun kemarin, lahar dingin Merapi saja mencapai Rp 1,6 triliun,” ujarnya. Itulah mengapa, pihaknya tidak bisa bekerja maksimal karena anggaran per tahun sangat minim padahal kebutuhannya besar. Sehingga, Sutopo menyebut wajar kalau korban bencana baru memperoleh bantuan pembangunan rumah tiga tahun setelah bencana.

Lalu bagaimana dengan 2013, pada workshop Mitigasi Nasional beberapa waktu lalu di Padang, Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Doddy Ruswandi mengatakan nggaran kebencanaan di Indonesia pada 2013 naik tajam menjadi Rp14 triliun, sebagian di antaranya dikucurkan ke Sumbar untuk membangun belasan shelter.

Dalam hal ini, Sumbar dianggap sebagai provinsi yang pertama membangun shelter dan patut di­apresiasi. Selain itu, sebagai upaya antisipasi terhadap bencana, mitigasi dari hal-hal yang kecil perlu digiatkan. Hal ini penting disosialisasikan kepada masyarakat luas.

Bagaimana sistem evakuasi yang baik, perlengkapan serta informasi dan petunjuk-petunjuk yang berguna untuk masyarakat. Inilah, ironi daerah bencana. Uang seakan tak ada gunanya tatkala bencana itu datang, penyesalan datang terlambat. Banjir, longsor, banjir bandang maupun tsunami adalah cerita pasti yang selalu berulang di negeri bencana ini. Tak ada kata lain, selain Mitigasi adalah penting. (padangekspres.co.id)