Oleh Azmi Abubakar
Meili Nuzuliana menulis dengan indahnya Curhat Inong Aceh (SI, 13 November, 2011) di sebuah sudut di negeri syari’at. Setidaknya teriakan MN dalam wujud tulisan telah mewakili para inong Aceh lainnya dalam membela kaum hawa dari tamparan berbalut syari’at. Tulisan ini sendiri taklah bermaksud jumawa, penulis berusaha objektif melihat permasalahan inong Aceh hari ini untuk sama-sama kita cari obat mujarabnya.
Siapapun tak akan membantah kalau penyakit inong Aceh hari ini sudah sedemikian parahnya. Betapa setiap hari kita dipertontonkan adegan-adegan maksiat di jalan raya. Inong Aceh dengan pakaian khasnya asyik bertasbih ria bersama pasangan haram. Pakaian yang dikenakanpun jelas-jelas melanggar ketentuan agama juga ikut menghilangkan identitas dirinya sebagai inong Aceh.
Keadaan ini didukung pula oleh laku agam-agam Aceh yang seyogyanya menjadi imam justru kehilangan jati diri bahkan ikut menghancurkan kehidupan kaum inong di negerinya. Agam Aceh sebagaimana yang disebut olah MN tak lepas dari perilaku maksiat, mengumbar aurat, lebih dari itu aktivitas beragamapun semakin dijauhi.
Aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh para generasi inong Aceh lebih karena ketakutan mereka kepada Wilayatul Hisbah (WH). Bukan karena rasa religius dan kesadaran yang tinggi untuk menjadi pribadi yang shalihah. Aktivitas beragama cenderung dipandang sebagai bentuk pemaksaan yang mengukung mereka dari kebebasan berekpresi. Doktrin ini terus saja menjalar, pengaruh lingkungan menjadi satu dari sekian penyebabnya.
Hegemoni media televisi yang begitu kuat telah membuat inong Aceh cenderung berguru ke arah sana, yang pada hakikatnya sangat jauh dari nilai-nilai agama. Lembaga pendidikan semisal dayah bukan lagi menjadi tempat utama mendalami ilmu agama.
Hal ini diperparah lagi manakala doktrin-doktrin di sekolah turut mendukung sikab negatif ini. Pendidikan agama jelas tak seimbang dengan pendidikan umum, sehingga lahirlah inong Aceh cerdas tapi tak berbudi. Sehingga lahirlah inong Aceh dengan segudang prestasinya tapi jauh dari kehidupan religi.
Kita juga akan menyaksikan diluar sana, para inong-inong semakin gencar meneriakkan persetaraan gender, feminisme dan entah apa lagi istilah lainnya yang merupakan hasil dari produk barat. Mereka berlindung dibawah lukisan Cut Nyak Dhien buatan Belanda. Lukisan palsu Cut Nyak yang tak menutup kepala menjadi alasan berekpresi kelompok ini.
Lebih dari itu, inong-inong Aceh kerap menjadi lahan bisnis media-media terkemuka di negeri syari’at. Lihat saja media cetak hari ini dan hari-hari esok, foto inong-inong Aceh maupun inong-inong lain kerap mendominasi setiap halamannya dengan sejumlah gaya ala anak-anak gaul. Bukan tidak mungkin orang-orang luar Aceh akan beranggapan bahwa inong-inong Aceh seperti ini adanya semua. Anehnya tak ada satupun yang memprotes akan laku media ini.
Sikab cuek orang tua terhadap aktivitas perempuannya semakin membuat eksistensi inong Aceh kehilangan arah. Apalagi memiliki orang tua yang justru tak kenal agama akan segera berbuah petaka bagi sang anak. Dimana posisi sang anak akan bebas mengekpresikan diri melabrak nilai-nilai kesantunan, meruntuhkan sendiri martabatnya sebagai kaum hawa. Sehingga lambat laun akan melahirkan perempuan-perempuan gatai nan teugeuchak meminjam istilahnya orang Aceh.
Karenanya belajar kembali kepada ummul mukminin sekaliber Siti Khadijah atau Siti Aisyah adalah satu hal mutlak bagi inong Aceh. Menjadikan mereka sebagai qudwah adalah sebuah kewajiban. Walau kita tak sanggup mencontohi semua sendi kehidupan dari Siti Aisyah atau Khadijah, namun yang sangat penting adalah tumbuhnya semangat kembali dari inong Aceh untuk berqudwah pada dua wanita agung itu. Termasuk semangat dalam beribadah, pergaulan sosial, maupun kejuhudan berilmu yang sangat luar biasa dari mereka. Doktrin ini perlu kita tanam pada inong Aceh, terutama mereka yang masih kecil, dimana kondisi mereka masih gleh hate sehingga dengan mudahnya dapat menyerap ilmu-ilmu luhur.
Lebih ahsan lagi ketika orang tua memasukkan anak perempuannya ke lembaga-lembaga agama semisal dayah. Ini sangat berpengaruh bagi mereka inong Aceh di kemudian hari. Siapa yang tak bangga memiliki anak perempuan yang shalihah bahkan menjadi mushlihah bagi lingkungan sekitar. Dimana dalam kesehariannya tak pernah membuka aurat, busananya sangat dijaga, tutur sapanya santun, punya sifat malu yang sedemikian besar, dan menjadi sosok inong yang sangat disegani oleh siapapun. Siapa yang tak bangga jika kelak memiliki istri shalihah yang selalu menjadi air kala api sedang membara, menjadi guru bagi sang anak juga menjadi qudwah bagi lingkungannya.
Sekali lagi mari berqudwah kembali kepada sosok Siti Khadijah, Siti Aisyah dan sederetan wanita agung lainnya dalam sejarah besar Islam. Muliakanlah tanoh Aceh ini dengan perangai yang santun, sehingga kelak kita tak akan pernah lagi menyaksikan inong Aceh menjadi tontonan maksiat di jalan-jalan. Hidup Inong Aceh!
Penulis adalah Mahasiswa Al-Azhar Cairo-Mesir dan Aktivis World Achehnese Association
Belum ada komentar