Banda Aceh – Pemerintah Aceh diminta segera mensinkronkan peraturan penyeleggara Pemilu di Aceh, karena dinilai masih adanya tumpang tindih peraturan yang mengatur tentang Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dengan peraturan yang mengatur tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Jangan sampai konflik aturan ini menciptakan suasana berdemokrasi yang tidak ‘sehat’,” kata Manajer Advokasi Forum LSM Aceh, Kholil usai mengikuti workshop sehari yang bertemakan “Penguatan Kelembagaan KIP Aceh Sebagai Penyelenggara Pemiliu di Aceh” di Hotel Grand Nanggroe, Rabu (12/5/2010).

Ia mengatakan, mendengar beberapa pendapat dari peserta seminar, sinkronisasi peraturan KIP dan KPU sangat diperlukan. Sebab, jika persoalan aturan main ini tidak segera diselesaikan, maka dikhawatirkan akan menganggu proses pembangunan dan perdamaian yang sedang dibangun. “Kami berharap ada inisiastif dari Pemerintah Aceh untuk menyelesaikan hal ini dengan Pemerintah Pusat,” pintanya.

Pada workshop yang membicarakan seputar polemik keberadaan KIP dalam menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada akhir 2011 mendatang, wacana itu muncul dan berkembang, dimana keberadaan KIP perlu untuk ditinjau kembali, mengingat fungsi dan tugas yang diemban sama dengan apa yang dilaksanakan oleh KPU.

Sebelumnya, dua narasumber, yaitu Ahmad Farhan Hamid, anggota DPD asal Aceh dan Mawardi Ismail, akademisi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) berpendapat, beradaan KIP Aceh sudah diatur dalam UU PA dan memiliki kekhususan tersendiri bila dibandingkan dengan KPU. “Perbedaan KIP Aceh dengan KPU salah satunya adalah mekanisme rekrutmen, mekanisme seleksi dan jumlah keanggotaan,” ungkap Farhan.

Disisi lian, Mawardi Ismail mengatakan, status KIP Aceh sebagai Lembaga Negara sesuai Pasal 1 angka (12) UU PA telah menyatakan bahwa KIP Aceh merupakan bagian dari KPU, sehingga semestinya anggarannya berasal dari APBN, namun dapat menerima hibah untuk agenda-agenda tertentu dari APBA, apabila Pemerintah Aceh memberikannya.

Pernyataan dari dua narasumber itu sendiri sempat mendapat kritikan dari peserta workshop, seperti Tarmizi, Ketua KIP Kabupaten Aceh Besar yang merasa kekhususan yang dimaksud tidak pernah dirasakan oleh KIP.

Ia mengungkapkan, KIP kabupaten/ kota malah memiliki dua stempel dalam pengurusan administrasi, yaitu stempel KPU dan stempel KIP Aceh. Bila penarikan anggaran berasal dari APBN, maka menggunakan stempel KPU, dan begitu juga bila menarik anggaran dari APBA, maka menggunakan stempel KIP Aceh.

“Ini terjadi akibat masih adanya tumpang tindih peraturan atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang KIP Aceh yang masih belum sinkron dengan peraturan yang mengatur tentang KPU,” katanya.(*/ha/cqi)