Saat-saat hari berlalu sepi kendati riak tak pernah henti bernyanyi, mereka jadi teringat kepada orang tua itu. Dia selalu punya cerita. Dia tahu bagaimana melipur lara orang-orang di pantai ini. Dia memberi mereka semangat kendati wajah kehidupan sering tak ramah kepada mereka, ya, kepada para nelayan. Dia seperti ayah-ibu bagi semua. Lebih dari itu, Yusuf Harun memang tahu tentang laut lebih dari rata-rata orang dalam komunitasnya. Maka ia pun digelar Pawang. Tetapi kini ia telah tiada.
“Sepeninggalan Yusuf Harun waktu itu, Kuala Beurabo seperti bersedih,” kata Muhammad Dewi beberapa waktu lalu. Lelaki muda muda ini adalah salah satu nelayan binaan Sang Pawang.
Kuala Beurabo terletak di penghujung barat garis pantai Gigieng, Simpang Tiga, Pidie. Tiap pagi, atau siang menjelang petang para nelayan setempat berkumpul di sini untuk pergi atau pulang melaut. Dan ketika sore, mereka beristirahat di bawah pohon-pohon cemara sambil menambal jaring. Dan dulu aktivitas sambil rehat seperti ini seringkali dialuni kata-kata weyangan yang menghibur dari Yusuf Harun.
Di tengah masyarakat pesisir Desa Meunasah Lhee, Simpang Tiga, lelaki yang ketika menghembuskan nafas terakhirnya beberapa tahun lalu itu berusia 59 tahun, ini dipanggil Pawang Usuh.
Awalnya Pawang Usuh memiliki dua unit boat. Yang satu dipawanginya sendiri. Yang lain dikelola oleh para nelayan binaannya. Boleh dikatakan otoritasnya sebagai seorang nelayan senior yang bersifat mengayomi, amat dihormati lingkungannya karena dia tidak hanya mengandalkan kearifannya dengan lidah, tetapi dibarengi tindakan nyata.
Tapi tsunami 26 Desember 2004 memburaikan semuanya, termasuk dua unit boatnya, termasuk pula semangatnya sebagai nelayan yang memiliki hak berfatwa dalam bidang hukum dan adat laut. Masalahnya, dia tak menyukai kewibawaannya hanya bersifat moril semata tanpa disokong kesigapan materil.
Setelah itu cuma tinggal satu yang disukainya, yaitu menjalani hari-hari bersama sisa usia dengan tetap melaut. Bukan sebagai pawang. Tapi sebagai anak boat biasa. Tetapi sebagai korban tsunami, Pawang Usuh ikut mendapat bantuan dari sebuah NGO asing. “Satu boat labi-labi untuk sekian belas orang. Bayangkan, satu boat, tokenya belasan orang. Ya, karena tak cocok berkongsi, akhirnya boat itu kami jual. Duitnya kami bagi sama,” ujar ayah empat anak itu medio 2008 lalu pada suatu hari sebelum beliau berpulang ke haribaan-Nya.
Salah seorang nelayan binaan Pawang Usuh mengatakan, di daerah kampung asal almarhum Ibrahim Hasan, mantan gubernur Aceh masa Orde Baru itu memang ada beberapa nelayan yang punya koneksi dan pintar loby hingga bilang orang lain mendapat sebuah boat untuk rame-rame, yang pintar loby bisa mendapat satu unit secara pribadi.
Ada yang berkata, seharusnya Pawang Usuhlah yang mendapat keistimewaan itu mengingat beliau orang tua yang sudah banyak berjasa untuk membina para nelayan di daerah ini. Tapi Pawang Usuh tidak pintar loby.
Saat perihal itu disinggung pada Pawang Usuh, dia hanya menjawab singkat tanpa kandungan sentiment dalam kalimatnya, “Allah, hom hai. Peu lon tajo keunoe-keudeeh, cit ka et noe kada (terserah kepada Allah SWT. Ya, sudahlah, untuk apa saya terlalu ambisi, rezeki saya memang sudah segini).”
Selain tempat terkonsentrasinya para nelayan yang hendak dan pulang dari laut, Kuala Beurabo juga sering dijadikan areal pemancingan oleh para warga yang datang dari luar kecamatan. Sebagai sebuah kawasan kuala yang menjorok ke dalam dan jauh dari perumahan penduduk dan jalan raya, Kuala Beurabo sangat representatif sebagai kawasan bersantai sembari menikmati panorama laut dan memancing.
Secara tidak langsung, para nelayan di sini sangat terhibur dengan kehadiran orang-orang dari luar kecamatan yang datang memancing di kuala mereka tiap pagi atau sore hari. Mereka bisa berbincang-bincang dengan pendatang tentang banyak hal yang di luar masalah nelayan. Dan itu adalah isyarat kondisi jiwa yang terpinggirkan sebagai nelayan sederhana di kawasan perpantaian yang agak jauh menjorok ke pedalaman. Dapat dipahami, sebagai nelayan mereka rata-rata masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bekerja dari pagi hingga tengah hari atau dari sore hingga keesokan paginya dengan boat bermuatan 10 hingga 15 nelayan, mereka berpendapatan Rp 30 ribu hingga Rp 60 ribu rata-rata per hari per orang.
Dengan kerja berat dan pendapatan per hari yang sedemikian, membuat mereka selalu merasa seperti suatu komunitas yang diabaikan oleh para penentu kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang dalam hal ini adalah, Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie.
“Dulu ketika kami mengeluh seperti ini, sang almarhum Pawang Usuh sigap datang menasehati kami agar jangan suka menyalahkan pihak lain atas nasib buruk diri sendiri, walau pun yang salah itu pihak pemerintah kabupaten sendiri,” kata para nelayan di Kuala Beurabo senja itu. â– musmarwan abdullah
Belum ada komentar