Kapal pembangkit listrik tenaga diesel di tengah perkampungan Punge Blang Cut, Banda Aceh, berdiri megah. Cerobong asapnya menjulang tinggi dengan kondisi badan masih mulus meski benda berbobot 2.600 ton itu diseret tsunami sejauh 5 kilometer dari pantai.
Di bagian buritan kapal terpampang tulisan PLTD Apung I. Sementara di dinding luar ruang mesin di kedua sisi samping terdapat logo pembangkit listrik negara dan tulisan WKB yang artinya Wilayah Kalimantan Barat. Rupanya, dulu kapal ini pernah beroperasi di Kalbar sebelum akhirnya dipindah ke Aceh. Di Aceh, kapal itu beroperasi sekitar satu tahun sebelum tsunami mengakhiri tugasnya pada 26 Desember 2004.
Kini mesin pembangkit listrik yang ada di dalam kapal telah dipindah ke PLN Banda Aceh di Jalan Tengku Imum Luengbata. Mesin itu masih berfungsi baik dan dimanfaatkan untuk mem-back up energi listrik Banda Aceh.
Beberapa meter di belakang PLTD Apung I kini juga telah dilengkapi trek (titian) dari kayu dengan rangka berbahan besi. Bangunan ini dimaksudkan untuk mempermudah wisatawan yang ingin mengamati dan naik ke dek kapal. Tidak jauh di sisi kiri telah dibangun Monumen Tsunami yang dilengkapi daftar nama korban wilayah Gampong (Kampung) Punge Blang Cut. Semua itu dikelilingi pagar besi dan digembok rapat.
Zainal Arifin, Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, dan Fahmi selaku sekretaris di dinas tersebut, Jumat (24/2), menuturkan, Monumen Tsunami yang dibangun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu akan segera dibuka untuk umum.
“Saat ini prosesnya baru 85-90 persen. Pemerintah Kota Banda Aceh masih menyiapkan fasilitas tambahan untuk mengisi ruang kapal yang kosong setelah mesin pembangkitnya dipindah,” ujar Zainal di sela-sela kunjungan bersama Garuda Indonesia.
Monumen Tsunami ini merupakan obyek andalan dari beberapa situs tsunami yang ada di Banda Aceh. Situs lain adalah Monumen Perahu di Atas Rumah di Kampung Lampulo (berupa perahu nelayan berukuran 25 meter x 5,5 meter dengan berat 20 ton yang menyangkut di atas rumah), Museum Tsunami Aceh, dan kuburan massal Siron.
Mengenai Monumen Perahu di Atas Rumah, Kepala Desa Lampulo, Alta Zaini, mengatakan situs ini telah dikunjungi cukup banyak wisatawan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pengunjung pada hari Sabtu dan Minggu bisa mencapai 100 orang sehari.
Selain kondisi fisik situs yang ditata, masyarakat setempat juga telah dipersiapkan untuk menyambut kedatangan wisatawan. Tamu yang datang dalam rombongan besar akan disambut dengan tarian, seperti rapa’i geleng yang melukiskan kekompakan dan siar warga Aceh.
“Sejauh ini sudah ada upaya pemberdayaan masyarakat sekitar melalui pemberian tambahan modal oleh pemerintah untuk pengembangan usaha kecil, seperti produk makanan untuk ditawarkan kepada pelancong,” ujar Alta. Menurut dia, cukup banyak warga yang menjadi korban saat tsunami terjadi. Warga Lampulo tinggal sekitar 1.500 jiwa dari sebelumnya sekitar 6.000 orang.
Obyek wisata tsunami lain yang sering dikunjungi adalah Museum Tsunami Aceh di Jalan Iskandar Muda. Museum yang dibuat sejak 2006 dan dibuka umum pada 8 Mei 2011 itu telah dikunjungi lebih dari 38.000 orang. “Jumlah pengunjung selama 2011 saja sudah di atas 36.000 orang,” ujar Erwan Setiawan, koordinator pemandu di museum tersebut.
Di museum yang dibangun atas dana dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu, pengunjung bisa melihat berbagai hal, mulai dari efek yang ditimbulkan dari terjangan air laut yang menewaskan dan menghilangkan 167.000 jiwa penduduk Aceh hingga memperoleh informasi soal gempa dan tsunami serta masalah geologi lainnya.
“Ada satu lagi, ruang Teater 4 Dimensi. Namun, Teater 4 Dimensi ini belum dibuka karena masih menunggu peraturan gubernur yang mengatur aset pemerintah yang bisa dinikmati publik. Ini dilakukan karena untuk wahana lain selama ini gratis,” ujar Erwan.
Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Banda Aceh Reza Pahlevi mengatakan, ada sejumlah situs tsunami di Banda Aceh, termasuk yang selamat seperti masjid. Situs-situs itu telah dikembangkan bersama pemerintah dan lembaga lain.
Tahun ini, pemerintah daerah telah menyiapkan Rp 14 miliar untuk pengembangan.
“Di Banda Aceh sudah dibenahi, tetapi ada juga di wilayah kabupaten lain yang belum ditata. Seharusnya mereka juga peduli. Sebab, bagaimanapun, yang namanya pariwisata harus terkoneksi satu sama lain. Banda Aceh tidak bisa berdiri sendiri, ada keterkaitan dengan daerah lain,” ujarnya. (Kompas Cetak/Defri Werdiono)
Belum ada komentar