Dulu, Mahdi Jamil (45) tak paham mengapa banyak peziarah datang ke kampungnya. Yang dia tahu, ada makam pembesar Aceh, belasan meter jaraknya dari rumahnya di Gampong Meunasah Lueng, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh. “Saya tahu ada makam keramat, tetapi entah makam siapa,” ujarnya.
Suatu ketika, pertengahan tahun 2004, seorang pengunjung asal Malaysia bersukacita saat melihat makam itu. Si pengunjung berulang kali sujud syukur di sekitar makam setelah mencocokkan dua lembar foto yang dia bawa. Katanya, makam itulah yang dia cari bertahun-tahun.
Itulah makam Tun Sri Lanang, raja (uleebalang) pertama Samalanga, bernama asli Tun Muhammad dan bergelar Datuk Bendahara Tun Muhammad.
“Kata si pengunjung itu, batu nisannya cocok dengan nisan yang ada di foto itu. Jenis dan ukiran nisan khas Turki, yang sama dengan petunjuk,” cerita Mahdi.
Kabar penemuan makam Tun Sri Lanang pun berkembang dari mulut ke mulut. Sejak itu, peziarah hilir mudik di Gampong Meunasah Lueng. Ada yang datang sekadar ingin tahu, tetapi tak sedikit di antara mereka adalah keturunan Tun Sri Lanang, baik dari Malaysia maupun Indonesia.
Belum jelas mengapa kisah raja pertama Samalanga itu “terkubur” hingga makamnya tak dikenali rakyat dan keluarganya
Lokasi makam berada di tanah lapang di antara rumah warga dan jalan desa. Di sekitar nisan terdapat susunan batu yang berderet seperti nisan dan dipercaya sebagai makam para keturunan raja, dua di antaranya telah diberi petunjuk nama makam Teuku Shyik Muda Bugeh dan Pocut Meuligoe. Di sekitar makam-makam itu berdiri pohon melinjo, mangga, durian, pala, dan kelapa.
Ada juga rumah panggung kayu khas Aceh yang oleh warga sekitar disebut Rumoh Krueng atau rumah sungai karena lokasinya tak jauh dari Sungai Batee Iliek. Rumah yang diyakini peninggalan Tun Sri Lanang itu telah beberapa kali ganti penghuni, mulai dari keluarga, kerabat ahli waris, hingga Tentara Nasional Indonesia yang pernah bermarkas di daerah itu tahun 1980-an.
Dua bangsa
Belum jelas mengapa kisah raja pertama Samalanga itu “terkubur” hingga makamnya tak dikenali rakyat dan keluarganya. Namun, penemuan itu menjadi tonggak bersejarah bagi keluarga keturunan Tun Sri Lanang.
Ahli waris yang tersebar di beberapa kota di Indonesia dan Malaysia pun dipertemukan setelah sempat tak terhubung dan tak saling mengetahui selama bertahun-tahun.
Menurut Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Profesor M Dien Madjid, rekam jejak Tun Sri Lanang yang berlatar di Batu Sawar, Johor, Malaysia, dan Samalanga, Aceh, Indonesia, dapat dijadikan simpul yang mempererat kedua bangsa serumpun. Hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia yang beberapa kali memanas belakangan ini seharusnya tidak perlu terjadi jika merunut sejarah tersebut.
Sebelum memimpin Negeri Samalanga tahun 1615-1659, Tun Sri Lanang merupakan Bendahara Kerajaan Johor (menjalankan peran seperti perdana menteri). Setelah Aceh menaklukkan Batu Sawar, ibu kota Kerajaan Johor, pada tahun 1613, Sultan Iskandar Muda memboyong Tun Sri Lanang ke Aceh dan kemudian ia diangkat sebagai penguasa pertama Samalanga, sebagai wilayah Aceh Darussalam.
Ketua Yayasan Tun Sri Lanang yang juga keturunan ke-8, Pocut Haslinda Syahrul, menambahkan, kepindahan Tun Sri Lanang ke Samalanga membawa perubahan. Demi memenuhi kebutuhan pangan, misalnya, Tun Sri Lanang bercocok tanam dan hasilnya dibagikan kepada warga yang membutuhkan.
Dia juga memelopori pembuatan perahu untuk kebutuhan nelayan dan transportasi laut, serta membangun masjid dan pesantren sebagai pusat kegiatan ibadah, pendidikan, dan aktivitas sosial. Dampaknya, ekonomi Samalanga membaik.
Tun Sri Lanang wafat tahun 1659 dan jenazahnya dimakamkan di dekat pesantren yang dibangunnya di Kuta Blang Samalanga.
Tun Sri Lanang menurunkan garis keturunan di Malaysia dan Indonesia. Di Malaysia, keturunannya merupakan para sultan di Melayu, seperti Sultan Pahang, Sultan Johor, Sultan Trengganu, dan Sultan Selangor.
Sementara di Aceh, Tun Sri Lanang menurunkan darah keberanian dan perjuangannya kepada Pocut Meuligoe, keturunan ke-5, yang memimpin perlawanan terhadap Belanda hingga terusir dari Samalanga.
Dengan latar itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala bersama Yayasan Tun Sri Lanang yang diketuai Pocut Haslinda Syahrul menggelar seminar “Ketokohan Tun Seri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa” di Kabupaten Bireuen, Kamis, 8 Desember lalu. Seminar dihadiri sejarawan, pemerhati sejarah, guru, mahasiswa, dan masyarakat dari Indonesia, khususnya Aceh, serta Singapura dan Malaysia.
Direktur Nilai Sejarah Shabri Aliaman mengatakan, ketokohan Tun Sri Lanang diharapkan dapat merevitalisasi memori kolektif kedua negara bangsa agar terjalin hubungan yang lebih baik. Peninggalannya di Samalanga juga dinilai penting sehingga layak dijadikan sebagai kawasan wisata sejarah Melayu-Nusantara.
Karya tulis
Tun Sri Lanang, antara lain, dikenal sebagai sastrawan, penulis sejarah, ahli pemerintahan, melalui karya Sulalatus Salatin. Karya itu bahkan menjadi rujukan sejarah Melayu dan menjadi “buku wajib” yang diajarkan di sekolah-sekolah Malaysia.
Sulalatus Salatin yang naskah aslinya ditulis dalam huruf Arab Jawi atau Arab Pegon juga menjadi bahan kajian para peneliti sejarah dan naskah kuno dari sejumlah negara.
Pocut Haslinda, dalam buku terjemahan populer Sulalatus Salatin, menyebutkan, karya Tun Sri Lanang itu memuat berbagai macam kearifan yang relevan hingga kini. Selain berisi hikayat raja-raja Melayu dan Nusantara sejak zaman Sultan Iskandar Zulkarnain menaklukkan Hindi, kitab tersebut juga menyuguhkan khazanah adat istiadat dan nasihat pemimpin atau raja kepada masyarakatnya.
Kepakaran Tun Sri Lanang diakui masyarakat luas. Bahkan, lanjut Pocut Haslinda, ulama asal Gujarat yang diangkat sebagai penasihat Raja Aceh, Nuruddin Ar-Raniri, menjadikan Tun Sri Lanang sebagai mentor dalam pembelajaran penulisan sastra Melayu.
Sastrawan Singapura, Djamal Tukimin, mengatakan, Sulalatus Salatin yang tahun 2012 ini genap berumur 400 tahun merupakan karya sastra sejarah putra asli Melayu yang monumental. Sejarah Singapura kuno dinilai tak akan dikenal jika tidak ditulis Tun Sri Lanang.
Karya itu juga menjadi kajian para peneliti sejarah dan sastra dunia. “Di Singapura, Tun Sri Lanang dipakai sebagai nama penghargaan bidang sastra sejak lebih dari 20 tahun lalu,” kata Djamal.
Muhammad Haji Saleh, peneliti Pusat Penyelidikan Dasar dan Kajian Antarbangsa Universitas Sains Malaysia, menambahkan, Sulalatus Salatin merupakan karya sastra agung, sekaligus buku sejarah dan panduan istiadat yang penting dalam peradaban, kebudayaan, dan sistem pemerintahan Melayu.
Menurut dia, bahasa yang digunakan merupakan bahasa terbaik dalam khazanah sastra Melayu.
Oman Fathurahman, peneliti manuskrip kuno dari UIN Syarif Hidayatullah, berpendapat senada. Dalam konteks sejarah kesusastraan Melayu klasik, katanya, Sulalatus Salatin dapat dianggap sebagai salah satu teks Melayu terpenting yang memikat perhatian peneliti dan sarjana sejumlah negara.
Perbincangan mengenai Tun Sri Lanang juga selalu lekat dengan karya tersebut. Apalagi Sulalatus Salatin menjadi satu-satunya karya yang kepengarangannya dihubungkan dengan Tun Sri Lanang.
Sulalatus Salatin banyak diterjemahkan sebagai Sejarah Melayu atau Malay Annals. Ada juga yang menyebut Sulalat sebagai peraturan, pertuturan, juga perteturun. Namun, dengan melihat maknanya, transkripsi paling tepat, menurut Oman, adalah perteturun sehingga Sulalatus Salatin perlu dibaca sebagai Perteturun Raja-raja.
Terlepas dari itu, kata Oman lagi, kebesaran dan keindahan Sulalatus Salatin sebagai sebuah karya sastra sejarah Melayu klasik dalam beberapa hal jauh melebihi kebesaran zaman dan pengarangnya. (Kompas Cetak/Mukhamad Kurniawan)
Belum ada komentar