Oleh Aulia Fitri
SIANG itu matahari telah sedikit condong ke arah barat, panas menyengat pada hari Minggu (7/8) itu masih begitu terasa di kulit.
Tidak ada persiapan yang matang, lewat sebuah SMS koordinasi yang sederhana saya dan teman-teman komunitas menuju suatu titik yang masih dalam wilayah Bireuen.
Tujuang kami tidak jauh-jauh, ingin tahu dan melihat sebuah kawasan industri di kawasan Cot Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, Bireuen.
Sebenarnya daerah itu tidak ada yang begitu menarik, jika kita melewati jalan Medan – Banda Aceh yang telihat kiri dan kanan hanya pohon-pohon jalanan dan bukit-bukit yang menghiasi indahnya pemandangan di Aceh.
Cot Batee Geulungku memang dikenal dengan tempat istirahat bagi pengguna jalan yang ingin memanjakan lidah dengan rujak Aceh plus air kelapa muda yang segar.
Kebetulan perjalanan yang kami lalui dalam suasana bulan Ramadhan, maka tidak heran, tempat atau gubuk sederhana para penjual diseputaran jalan lintas negara ini tidak berpenghuni dan tutup.
Hampir enam puluh menit kami menghabiskan waktu di jalan menuju dari Bireuen ke arah barat Cot Batee Geulungku.
Tidak lama sampai di atas jalan perbukitan sana, kita akan melihat sebuah kompleks Batalion Infantri.
Berselang beberapa menit, kami pun mengarahkan kemudi ke sebelah utara memasuki jalan bebatuan dan tanah bukit. Disanalah kami bertemu dengan sebuah benteng atau bisa disebut dengan bungker peninggalan Jepang pasca Perang Dunia II, yang sempat mendarat ke Aceh sekitar tahun 1942-1945.
Menurut informasi yang kami dapat, seperti yang pernah diutarakan Kepala Bappeda Bireuen, Ir. Razuardi Ibrahim yang mengetahui keberadaan tempat sejarah tersebut dari hasil-hasil bincang-bincangnya bersama rekannya asal negara Jepang.
Setibanya kami di lokasi bungker yang kini sedang dilakukan pemugaran oleh warga sekitar, bungker yang lebih mirip gua bawah tanah ini mempunyai arsitektur beton. Dari sinilah kami menggali informasi lebih lanjut dari seorang mandor pekerja disana yang mengatakan bahwa untuk masuk ke dalam bungker ini memang sedikit mengerikan.
“Beberapa pekerja yang melakukan pemugaran tempat ini, tidak ada satu pun yang berani masuk ke dalam,” kata Mandor kepada kami. Dari hasil amatan kami untuk memasuki bungker tersebut harus turun ke bawah lewat lebih kurang 15-17 anak tangga.
Pintu masuk yang berukuran 1×1,5 meter hanya bisa dimasuki oleh satu orang, menuju ke bawah mempunyai kedalam sekitar 5-6 meter dengan kondisi ruangan sangat gelap, tanpa ada penerangan. Namun, jika sudah berada di dasar bungker kita bisa menemui lubang-lubang cahaya yang sepertinya memang sengaja dirancang sebagai titik utama menuju jalan lainnya.
Menurut warga yang pernah masuk kedalam bungker tersebut, seperti yang diutarakan oleh mandor, mereka menemukan berbagai rangka manusia, seperti tengkorak, rambut, serta tulang belulang lainnya.
Belum ada keterangan jelas, sisa-sisa tulang belulang dari masa kapan (perang Jepang, PKI atau masa konflik) yang ada di dalam sana. “Belum ada tim arkeologi atau sejarahwan yang turun dan meneliti langsung ke tempat ini,” kata mandor.
Konon, pembuatan benteng lengkap dengan bungker oleh Jepang pada masa-masa sebelum merdeka menjadi tempat untuk pertahanan militer dan serangan dari sekutu.
Bentuk-bentuk pun beraneka ragam sebenarnya, salah satu bungker peninggalan Jepang masih sangat banyak bisa kita temukan di Sabang misalnya.
Bungker juga mempunyai fungsi yang bermacam-macam, misalnya sebagai tempat pengintaian, ruang tembak, ruang pertemuan, gudang dan dapur.
Ketebalan dinding rata-rata 50-70 cm, dari bahan beton bertulang, semen dan batu padas yang sudah tersedia di sekitarnya. Bungker-bungker biasanya dibangun saling berdekatan (30 m), serta dihubungkan dengan parit perlindungan yang berada di luar setinggi (1 m) pada umumnya. Tertarik untuk mengunjungi benteng peninggalan Jepang ini?[]
*Anggota Aceh Blogger Community Reg. III Bireuen, pemilik blog http://aulia87.wordpress.com
Belum ada komentar