Seputaraceh

Yang Semarak di Kesunyian Kaki Gunung

Keberadaan Mahyuddin Yusuf, 41 tahun, di lembah kaki gunung Seulawah Inong nan damai itu bukan hanya sebagai pengusaha warung, tetapi juga beternak sapi dan bercocok tanam. Dia bukan tipe lelaki juwon (suka duduk menggantang asap dan malas bekerja); tapi lelaki gigeh (tak bisa duduk diam tanpa melakukan sesuatu yang bersifat produktif).

Sebagai peternak, seratusan sapi yang ia pelihara memang bukan semuanya milik sendiri, tapi sebagian kecil kepunyaan warga di beberapa desa dalam kawasan kaki gunung Seulawah yang dipeliharanya dengan sistem bagi hasil, disebut mawah. Di samping itu ia juga merupakan tenaga pengawas terhadap keamanan dua unit tower milik sebuah perusahaan jaringan telepon seluler yang letaknya hanya 15 meter dari warungnya.

Warung Mahyuddin yang secara administratif terletak dalam kawasan desa Simpang Beutong, Muara Tiga, Pidie, ini biasanya meriah saat tengah malam. Pelanggan khasnya para sopir truck trayek Medan-Banda Aceh; pedagang sayur dari Takengon, Aceh Tengah; pedagang pisang dari Padang Tiji, Pidie; pedagang kambing dari Matang Geulumpang Dua, Bireuen; kawanan pemetik sarang lebah dari Laweung, Pidie; gerombolan pemburu kancil yang biasanya peladang setempat dan musafir berkenderaan roda dua yang kedinginan dalam perjalanan malam di Seulawah.

Di warung itu, baik pagi, siang, sore, apalagi malam hari, para pengunjung warung bisa minum kopi sambil tidur, atau tidur sambil minum kopi. Ini dimungkinkan karena tempat duduk khas di warung ini adalah bangku panjang dari kayu, berjumlah enam bangku dan dua ambin besar berlantai bambu. Barangkali di mana-mana memang jarang, atau bahkan tidak ada samasekali warung yang pengunjungnya diizinkan berlanggan sambil tidur. Menurut takhyul, itu pantangan. Bisa bikin sial tempat usaha.

Tapi menurut Mahyuddin, “Di warung saya ini, jangankan pengunjung, saya sendiri kadang-kadang berjualan sambil tidur. Soal rezeki nampaknya biasa saja. Bahkan dua mobil itu saya beli dari hasil usaha di warung ini ditambah sedikit dari hasil kebun dan ternak sapi,” katanya seraya menunjuk ke arah mobil Hiline 44 dan Mini Daihatsu di depan rumah tinggalnya tak jauh dari warung.

Berarti di warung Bang Din memang boleh ngopi sambil tidur. Takhayul pantang selonjor tidur di tempat usaha, agaknya tidak diberlakukan di warungnya. Tetapi yang menyangkut etika agama, lelaki beristri Ernawati, 38 tahun dan ayah tiga anak, itu sangat prinsipil.

Pada Sabtu petang (17/7/2010) ketika Harian Aceh menemuinya saat sedang mengumpulkan kotoran lembu peliharaannya di kandang belakang tempat tinggal, ia berkeras untuk tidak mengatakan bahwa tahi lembu itu untuk dijual, tetapi bagi yang membutuhkan tahi lembu tersebut sebagai pupuk tanaman, mereka hanya memberi dia ongkos kumpul dan angkut. Sekali lagi, bukan dijual.

“Menurut teungku-teungku, dalam agama kita yang namanya tahi binatang itu haram dijual,” kata Mahyuddin. “Makanya kami tidak menjual tahi lembu ini, tetapi hanya sekedar mengambil biaya kumpul dan angkut dari orang yang membutuhkannya.”

Satu karung ukuran 30 kilogram, kotoran lembu itu dijual, eh, diambil ongkos angkut Rp3 ribu. Dalam satu atau dua minggu, dari seratus ekor lembu peliharaannya yang tiap malam tidur di bawah kandang bertiang bambu dan beratap daun rumbia itu, Mahyuddin bisa mengumpulkan hingga satu ton tahi lembu.

“Orang yang membutuhkan kotoran lembu sebagai pupuk kompos sekarang ini cukup banyak di Seulawah. Apalagi sekarang sudah ada beberapa petani bermodal yang mulai menanam kelapa sawit di kawasan ini. Mereka membutuhkan banyak sekali pupuk tahi lembu. Saya bahkan tak mampu memenuhi semua permintaan mereka,” jelas Mahyuddin sembari menguras lapisan-lapisan tahi lembu yang sudah kering dan agak mengeras dengan cangkul dan lalu dikumpulkan oleh isterinya ke dalam karung-karung yang sudah disediakan di sisi bedeng kandang.

Bagi Mahyuddin yang gigeh itu, semua yang ada di kaki gunung Seulawah Inong bisa bernilai rupiah kendati dalam sebutannya seakan-akan tanpa unsur jual-beli. Kreatif, mau bekerja dan menghindari tabi’at suka menggantang asap, kata Mahyuddin, itulah yang membuat ia bisa hidup di kawasan gunung semeriah dan sesemarak hari-hari orang-orang kreatif di kota.(*/ha/musmarwan abdullah)

Belum ada komentar

Berita Terkait