[quote]Oleh Mustafa A Glanggang[/quote]

[dropcap]P[/dropcap]os Siskamling Desa Cot Glee itu selalu dipenuhi oleh para pemuda desa setempat. Tapi semenjak tabrakan lari dengan mobil CRV milik Pak Kadir yang akhirnya memakan korban seorang siswi SMA, bernama Rani dan pos itu pun mulai sepi.

Setiap lepas maghrib, kata orang kampung Cot Glee itu waktu ‘sama leumo’, yaitu suatu penglihatan tidak begitu jelas antara manusia dan lembu. Dalam suasana inilah terkadang muncul fantasi bagi warga yang sering duduk di pos siskamling itu kelihatan wajah Rani, siswi yang meninggal tabrak lari sambil berjalan-jalan didepan mereka.

Cerita roh Rani bergentayangan sudah tersebar ke pelosok kecamatan setempat. Bahkan keluarga Rani juga pernah mendengar berita tidak enak tentang almarhumah Rani. Namun pihak keluarga Pak Don, Ayah Rani tetap tidak percaya, karena putrinya semasih hidup tergolong gadis baik-baik. Bahkan disekolahnya, Rani dikenal sebagai juara kelas dan mendapat rangking.

Sebaliknya mamaknya Pak Don, Nenek si Rani sangat percaya tentang adanya roh seseorang yang bila meninggal berdarah secara tak wajar, maka rohnya akan bergentayangan. Untuk itu Nenek yang bercucu lebih selusin itu, merencanakan akan membakar bekas darah tabrakan Rani di jalan raya yang tak jauh dari pos siskamling itu. Niat nenek semakin kuat setelah salah seorang keponakannya meyakinkan bahwa roh Rani bergentayangan.

Tersebarlah berita sekampung Cot Glee itu, kalau Nek Intan, mamaknya Pak Don merencanakan ritual untuk memanggil roh Rani supaya tidak lagi menggangu para pemuda yang sering nongkrong di pos pos siskamling dan beberapa kedai kopi diseputar pos yang sering diramaikan oleh pemuda desa untuk bermain internet dengan laptopnya.

Memang sejak peristiwa tabrak lari dan meninggal Rani, omset penjualan dua kedai kopi yang dekat dengan pos pos siskamling anjlok dan menurun drastis, sehingga Pak Man beserta Pak Oes pemilik kedai kopi mulai tampak gelisah, karena utang pengambilan buah-buahan untuk dijadikan juice sudah banyak terarsip dalam catatan mereka.

Mendengar ada berita Nek Intan ingin memangil roh Rani, baik Pak Man maupun Pak Oes adalah orang pertama yang mendukung ide tersebut. Pada hal sehari-hari kedua toke kedai kopi itu tidak percaya dengan adanya gentayangn roh manusia. “Itu syirik,” kata Pak Man.

Sebaliknya dengan Nek Intan, sejak tadi pagi setelah shalat Shubuh ia sudah berangkat ke pasar pagi yang tidak jauh dari rumahnya untuk berbelanja kebutuhan menjelang Mahgrib sore nanti yang akan dilakukan semedi pemanggilan roh cucu kesayangannya. Semua sesajian untuk kebutuhan dunia gaib itu sudah dibeli oleh Nek Intan, termasuk bunga mawar merah dan putih.

Gelagat matahari pun sudah mulai condong akan meninggal siang, warna kemerahan mentari sore itu sepertinya ingin pula menyaksikan tingkah laku manusia dengan dunia gaibnya tersebut. Aksi Nek Intan tidak sendiri, ia ditemani oleh Pak Don ayah Rani, serta sekitar lima belas anggota keluarga lainnya juga pergi dengan mengenderari tiga mobil Kijang, karena lokasi penyerahan sesajian untuk roh Rani jauh dari rumah Nek Intan, sekitar tujuh kilometer.

Sepanjang jalan menuju pos siskamling Desa Cot Glee, masyarakat menyaksikan taburan bunga-bungan yang ditaburkan oleh Nek Intan, sehingga harum semerbak bunga melati bercampur dengan bunga kenanga semakin menjadi. Nek Intan beserta rombongan sesampai dilokasi segera mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat Mahgrib bersama dengan keluarga yang ikut serta. Setelah membacakan beberapa pucuk doa, kelihatan disekitar lokasi itu para anak-anak muda mulai memadati, termasuk para ibu-ibu rumah tangga serta beberapa kawan dekat almarhumah Rani. Diantaranya Itimah, Ratni, Titin dan juga Iwan, serta Zul.

Kelihatan dari kejauhan sana Nek Intan sudah mulai duduk bersila yang didampingi Pak Don dan beberapa perempuan sebaya Nek Intan yang mengelilingi seperti lingkaran huruf “O”. Keliahatan pula asap dupa alias kemenyan sudah berterbangan, syair-syair mantra dari mulut Nek Intan mulai kedengaran sayub-sayub. Entah apa yang diucapkan olehnya, sambil ia berjalan mengelilingi tempat tewasnya Rani.

Nek Intan juga melepaskan tangannya seperti orang menepung tawarkan, sehingga berhamburan air-air yang sudah dicelupkan dalam baskom tadi kelihatan air putih bercampur dengan beberapa jenis bunga. Maka lengkaplah bau semerbak bunga itu bercampur dengan bau kemenyan yang merasuki semua hidung orang-orang berada disekitarnya lokasi tersebut.

Peristiwa yang dinilai sakral itu berlangsung satu jam lebih. Namun masyarakat menyaksikan dengan penuh tanda tanya. “Kenapa setelah dipercikan air, lalu dibakar pula pada bekas darah Rani diatas jalan aspal itu. Apa maksudnya,” tanya seorang pengunjung kepada temannya yang lain. Namun jawaban itu tidak seorang pun yang bisa memberikan dengan konkrit.

Agenda demi agenda yang dilakukan Nek Intan tidak diatur dengan tertib acara. Semua pemain tunggalnya dilakoni oleh Nek Intan. Dan kini masuk pada agenda terakhir. Nek Intan, berdoa sambil menadahkan kedua tangan dengan mulut komat kamit, tak terdengar sama sekali, entah apa yang diminta nenek intan ini, dan pada siapa ia memohon pun tidak jelas. Namun semua orang yakin, bahwa Nek Intan itu lagi meminta agar roh Rani tidak lagi muncul dipermukaan umum.

Begitulah upacara ritual pemanggilan roh Rani dekat pos siskamling Desa Cot Glee. Sejak upacara itu selesai dilakukan oleh Nek Intan, gairah para pemuda desa setempat mulai kelihatan ramai untuk berkumpul lagi di pos. Tapi tidak dengan Pak Man dan Pak Oes, pemilik dua kedai kopi pun seperti kurang bersemangat menjual kopi disekitar pos jaga itu. Bahkan kedua toke itu mulai berencana untuk mencari lokasi baru menjual teh tarek, jus dan aneka minuman lainnya.

Sejak peristiwa itu, kini nama pos siskamling pun berubah nama dan warga Cot Glee menyebutnya dengan nama ‘Pos si Rani’. Peristiwa itu sudah berlangsung lima tahun lalu, namun teman-teman Rani yang pulang dari Banda Aceh, Medan, Jakarta, Bandung, bahkan yang menuntut ilmu dari luar negeri serta yang sudah sarjana ada saja yang merinding bila melewati ‘Pos Si Rani’ itu.

Lalu mereka berdoa dengan berbagai gaya bahasa masing-masing. “Rani, kami minta kamu hiduplah tenang dialam mu. Jangan ganggu kami sebagai teman kamu. Kami selalu berdoa utk mu agar kamu mendapat tempat yang layak disisi-Nya, sesuai dengan amal kamu sendiri. Amin,” demikian doa yang mereka panjatkan pada saat reuni SMA, tempat dimana Rani dulu bersekolah bersama teman-temannya sebelum peristiwa tabrakan lari yang mengakhiri hidup Rani.***