Guantanamo — Sejumlah tahanan menggelar sajadah mereka di hari kelima Ramadhan di Penjara Guantanamo. Mereka banyak menghabiskan waktunya membaca al-Qur’an sembari menunggu kumandang adzan Ashar. Atmosfer di penjara semakin damai saat bulan Ramadhan tiba.
“Datangnya Ramadhan mengubah dinamika di dalam kamp,” kata pejabat penjaga kamp. “Para tahanan sudah terbiasa dengan perubahan ini, dan seluruh penjaga penjara pun sudah menebak adanya perubahan itu”.
Aktifitas keseharian para tahanan berubah, karena mereka membiasakan membaca al-Qur’an, termasuk juga pola tidur dan pola makannya, sehingga wajahnya pun tampak sedikit berbeda dari biasanya.
“Selama bulan Ramadhan, mereka berupaya tidak cepat marah dan tidak agresif,” kata Zak, seorang konsultan budaya yang bertugas di Guantanamo. “Mereka sangat memahami nasibnya, mereka mengetahui kenapa mereka sampai ke Guantanamo dan mereka juga sadar bukan kesalahan kita sehingga mereka tetap berada di sini”.
Selama Ramadhan, JTF menyiapkan sejumlah persiapan khusus untuk para tahanan, termasuk menyesuaikan menu makanan mereka. “Kami mengubah jam makan, dari sebelumnya sarapan, makan siang, dan makan malam; kami sesuaikan waktu makan itu dengan saat sahur dan imsak”.
“Ramadhan juga momentum penting, karena bulan ini menyiapkan Anda selama setahun penuh,” kata Zak. “Puasa menurut semua agama memiliki tujuan yang sama, ini mengajarkan pada Anda disiplin dan sabar,” katanya.
Namun tidak semua tahanan menjalankan ibadah puasa, ada beragam alasan, mulai dari masalah kesehatan, hingga memang tahanan itu tidak mau berpuasa. Yang jelas para tahanan diberi pilihan untuk puasa maupun tidak, dan pasukan penjaga akan menyesuaikan jadwal yang dimintakan, khususnya ketika menyiapkan makanan.
“Mayoritas tahanan berpuasa, namun bagi mereka yang tidak pusa, kami menawarkan kepada mereka makan siang dengan jadwal yang normal,” kata salah seorang sipir di Kamp 5 itu.
Begitu juga dengan menu bulan puasa, penjaga penjara Guantanamo mempersiapkan kebiasaan Muslim berbuka, dengan menyuguhkan kurma, madu, dan roti. “Selama siang hari, tidak ada peredaran makanan melewati mulut, dan sistem aliran darah pun berpengaruh, sehingga kami harus mengubah pola budaya di dalam kamp,” kata Zak. “Siang hari, kamp tampak sepi, dan malam hari, kamp menjadi lebih sibuk, karena para tahanan menjadi semakin aktif”.
Perubahan seperti ini sudah diantisipasi dengan baik untuk menjegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan. Namun persoalan utamanya adalah karena sering bergantinya masukan penjaga di Guantanamo, jadi ketika ada personel baru bertugas, dia harus mengetahui kondisi psikologi tahanan.
Seluruh penjaga di Guantanamo bisa memahami Ramadhan dan budaya umat Islam dan itu karena tangan dingin Zak. Dia membekali kepedulian budaya kepada personel penjaga. “Jika kami tidak memahami satu sama lain dan bersabar satu sama lain, berarti kami gagal,” kata Zak. “Kami bisa melihat mereka, pada gambaran yang paling baik, begitu juga mereka melihat kami dalam gambaran yang paling baik,” imbuhnya.
Selama Ramadhan, para tahanan membaca al-Qur’an sebanyak 30 juz. Mereka biasanya melakukan doa bersama ketika sudah merampungkan juz ke-30. Zak boleh berbangga, sensitifitas kultural antara penjaga penjara dengan tahanan Giuantanamo berjalan lebih kuat, bahkan untuk menjaga kesadaran para penjaga, setiap penjaga dibekali kartu, terkait hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Termasuk yang dilarang adalah mengunyah permen di hadapan tahanan saat bulan Ramadhan.
“Kami berpegang pada prosedur,” katanya. “Kami mengikuti SOP dalam menyelenggarakan langkah operasional kami. Saya kira anak buah saya telah banyak melakukan pekerjaan bagus, mereka selalu bertanya tentang masalah keseharian yang dialami, khususnya terkait dengan menghormati budaya para tahanan, termasuk ketika memasuki bulan Ramadhan seperti ini”. (pelitaonline.com)
Belum ada komentar