Piyoh…, piyoh….

Neu cok ranuep nyoe pat hai.

Ranuep sigapu tanda mulia.

Orang Aceh di waktu dulu malu jika tidak menghidangkan ranuep kepada tamu yang datang ke rumahnya. Siapapun tamu itu, dari golongan dan strata apapun, disuguhi ranuep sebelum atau sesudah dijamu makan. Di masa lampau, ranuep populer mulai dari raja hingga rakyat jelata.

Berbeda dengan pemaknaan sirih di daerah lain, ranuep dalam bahasa Aceh bukan kata yang mewakili benda tunggal daun sirih. Tapi, mewakili satu paket terdiri dari daun sirih, kapur dan biji pinang.

Agar ranuep selalu ada di rumah, endatu kita dulu menanam sirih di pagar sekeliling rumah. Ketika tamu datang, mereka meminta anak-anak memetik daun sirih segar langsung dari dahannya, juga beberapa buah pinang, lalu disajikan di wadah logam yang disebut ceurana.

Sirih tidak hanya dijadikan cemilan, tapi juga dijadikan bahan baku obat tradisional yang cukup mujarab. Khasiat daun ini menyembuhkan bau mulut (halitosis), membuat gigi kuat dan air remasan daunnya diyakini bisa membeningkan mata.

Untuk acara-acara adat, ranuep juga mendapat posisi penting. Dalam tradisi melamar anak gadis, misalnya, wakil dari calon pengantin laki-laki datang ke rumah calon pengantin perempuan dengan membawa bingkisan berisi sirih. Tradisi ini dikenal dengan istilah me ranuep.

Tapi sayang, sekarang semakin sedikit keluarga di Aceh yang menyambut tamu di rumah dengan menghidangkan ranuep (sirih). Bahkan di kampung-kampung, jamuan ranuep belakangan ini hanya di waktu tertentu, misalnya dalam tahlilan sepekan untuk mendoakan orang yang meninggal dunia.

Di kota-kota pun, umumnya orang tidak menjadikan ranuep sebagai pilihan utama untuk cemilan menyambut tamu. Posisi ranuep kini digeser oleh makanan ringan pabrikan (junk food) yang lebih modern dan praktis, seperti kue-kue kering yang tidak basi jika lama disimpan.

Lebih disayangkan lagi, orang-orang menjadikan ranuep sekadar “aksesoris” para penari penyambut pejabat penting dalam sebuah acara seremoni. Pejabat datang, ranuep lam puan disuguhkan. Pejabat pergi, ranuep pun dilupakan.

Untung saja masih ada nyak-nyak penjual ranuep di pasar. Karena mereka, orang-orang masih mengingat secuil tradisi yang mulai tergerus zaman. [kania]