Oleh Mustafa A Glanggang
MASIH ingat Syeh Lah Banguna? Dialah Syeh Seudati yang menciptakan sekaligus mempopulerkan lagu dan tarian tarek pukat. Tiap pementasan, baik di tingkat nasional maupun internasional, Syeh mampu membuat penonton terhipnotis, bahkan kadang-kadang histeris.
Aksi panggung Syeh Lah mengundang decak kagum. Pasalnya, sambil memetik jari memukul dada, dia sangat atraktif berlenggak-lenggok di atas panggung. Dengan penuh semangat ia dendangkan berbagai jenis syair lagu Aceh.
Begitulah tiba-tiba, Syeh Lah Banguna berteriak di atas panggung sambil mengangkat tangkuloknya dengan tangan kanan melambai-lambai penonton. Dengan suara kerasnya, berteriak; rendokkkk… rendokkk…! Rendok artinya ke kanan…ke kanan…ke kanan.
Sesekali teriaknya: lamaaatt… lamaaatt… lamat. Maksudnya ke kiri… ke kiri…ke kiri…
Begitulah kata sandi para pawang pukat tradisional di sepanjang pantai di Aceh, bila memberikan intruksi kepada anak buahnya.
Saking gembiranya Syeh Lah Banguna melompat-lompat dengan histeris, diikuti ketujuh anggota membentuk gerakan dua baris, sesekali juga melingkar, sesekali berbentu huruf kali (X). Dengan serentak mengalun syairnya;
Tarek pukat rakan beh. Engkot karoh jena, enkot jenara// Laboh pukat rakan beh. Mita engkot jenara, engkot jenara// Tarek… Tarek… Tarek… Tarek… tgk…Tarek pukat bukan hanya dikenal di Aceh. Budaya tarek pukat ternyata banyak juga dijumpai di beberapa Negara tetangga Indonesia. Bahkan hampir semua pantai di dunia, warga menangkap ikan diawali sistem tarek pukat (laboh darat). Misalnya, di Thailand, Philipina, bahkan beberapa negara di Afrika dan Eropa. Mungkin yang membedakan cara tarek pukat di pantai Meureudu, Pidie Jaya, tempat kelahiran Syeh Lah Banguna. Perbedaan hanya pada penggunaan teknologinya. Namun cara dan sistem cari ikan di bibir pantai tetap sama yaitu menjaring ikan-ikan kecil yang suka bermain di seputar pecahan ombak.
Budaya tarek pukat itu sederhana saja, yaitu pada saat sampan menuju ke laut dengan putaran busur 90 derajat. Satu anggota di ujung barat (rendok) memegang ujung tali yang terhubung dengan jaring ikan. Setelah sampan itu turun ke arah kiri (lamat), semua anggota di dalam sampan besar antara 10 sampai 16 orang itu, turun sambil menarik tali yang terhubung dengan jaring ikan. Sementara sang pawang kembali ke laut untuk mengarah kedua titik para penarik pukat itu. Tentu saja dengan intruksi: rendok…rendok… rendok, atau lamat…lamat,..lamat…
Bagi anda yang lahir dan besar di sepanjang pantai, pemandangan seperti itu biasa-biasa saja. Tapi bagai yang baru melihat orang tarek pukat, pikiran mereka langsung terbayang pada permainan tarik tambang.
Kesimpulan ini sangat beralasan. Lihat saja, semua anak buah kapal (boat) sang pawang menarik tali ke darat. Kaki mereka menekan sekuat tenaga ke pasir, lalu menarik tali pukat yang berhadapan di dalam pecahan ombak. Mereka seperti bertarung dengan lawan. Padahal yang sedang mereka lakukan adalah menarik pukat dengan cara menarik mundur ke belakang. Bukankah sepintas gaya orang-orang yang menarik pukat ini persis seperti pertandingan tarik tambang.
Lalu, muncul pertanyaan dari mana asal muasal olahraga tarik tambang? Apakah permainan ini benar-benar terinspirasi dari budaya tarek pukat? Beberapa versi menyebutkan, para pelaut meyakini bahwa tarik tambang merupakan warisan budaya nenek moyang mereka yang mencontoh pada gerakan tarek pukat.
Sementara dalam versi kebudayaan Hindia Kuno, tarik tambang terilhami dari kisah raja zalim di India saat itu. Untuk menghentikan kekejaman raja, tampilah sebuah perkumpulan pecinta seni dan olahraga. Mereka mengajukan proposal kepada raja untuk menawarkan olahraga tarik tali atau tarik tambang.
Mendengar itu, sang raja sangat senang. Dia pun tak sabar melihat aksi gontok-gontokan sesama manusia. Apalagi, dalam pertandingan itu bakal dipilih mereka yang berbadan tegap penuh dengan jengot, sehingga membuat perlombaan itu benar seram. Mereka juga berhasil membujuk raja untuk menggelar event tersebut tiap tiga bulan sekali di lapangan depan pendopo sang raja zalim itu.
Versi lainnya menyebutkan, tarik tambang itu budaya orang-orang yang gemar menguliti kulit binatang untuk diekspor. Untuk mengeringkan kulit itu butuh kerja ekstra yaitu menarik sambil memaku agar bisa cepat kering. Jadi, saat menunggu kulit kering, mereka pun berolahraga sambil istirahat. Olahraga ini kemudian dikenal dengan nama tarik tambang.
Begitulah cerita asal muasal tarik tambang. Kita tak tahu mana yang benar dari versi-versi tersebut. Dapat dipastikan, bahwa budaya tarik tambang bukanlah olahraga warisan leluhur bangsa Indonesia. Sebagai informasi, olahraga ini pernah tercatat sebagai salah satu cabang yang diperlombakan di arena Olimpiade, yaitu antara tahun 1900 sampai 1920. Olahraga ini populer disebut Tug of war.
Sebenarnya, jika diperhatikan tarik tambang tak lebih hanya olahraga untuk bergembira saja. Anak-anak sekolah dasar (SD) pun dapat menyaksikan. Alat bantunya hanya tali sebesar gengaman, panjangnya antara 10 sampai 20 meter. Pesertanya berkelompok, satu kelompok jumlahnya 5 sampai 10 orang atau lebih. Permainan ini diawasi seorang wasit dan bisa dimainkan di mana saja, di depan halaman kantor, halaman sekolah atau di jalan-jalan raya.
Wasit yang memimpin pertandingan biasnaya mengikat tanda di tengah-tengah tali sebagai tanda lambang untuk tamabang–biasanya kain warna merah atau sapu tangan. Masing-masing kelompok biasanya memilih anggotanya yang berbadan tegap. Pihak lawan juga sebaliknya. Kalau kekuatannya tak seimbang, maka satu pihak (pemenang) akan terjatuh karena lawan tak mampu memberi perlawanan. Di sinilah sorak-sorai kegembiraan para penonton bergemuruh, karena pihak menang justru yang terjatuh.
Dan, tarik tambang ini bukan hanya milik kaum pria saja. Kaum wanita juga menggandrunginya. Hampir di tiap Negara, para wanita sering juga terlibat dan mengikuti olahraga tarik tambang. Dan sejauh ini belum ada walikota atau bupati yang mengeluarkan surat edaran melarang wanita mengikuti tarik tambang.
Oh ya…’tarik tambang’ kini juga marak dipraktikkan para birokrat, politisi, negarawan, para kiay, dan bahkan juga kalangan aktivis. Di level nasional, kita menyaksikan bagaimana PSSI dan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) adu kekuatan, saling tarik, dan bahkan saling menjatuhkan. Inilah sisa-sisa problem persepakbolaan nasional yang ditinggalkan Andi Alifian Mallarangeng kepada Roy Suryo.
Dalam konteks lokal, parade ‘tarik tambang’ terlihat dalam pemilihan Dekan FKIP Unsyiah, terutama antara kubu Yusuf Aziz dan kubu Darni M Daud. Lakon ‘tarik-tambang’ ini membuat coreng wajah pendidikan kita, karena aksi itu terjadi di kampus Jantong Hate rakyat Aceh.
Sebagai penutup, saya ingin mengajukan pertanyaan menggoda kepada para pembaca, kapankah lakon ‘tarik-tambang’ yang tak ada hubungannya dengan olahraga ini akan berakhir? Mungkin secara menyelutuk kita semua akan menjawab, tanyalah pada rumput yang bergoyang![]
Belum ada komentar