[dropcap]J[/dropcap]ika pada 10 November kita memperingati sebagai Hari Pahlawan, maka sejarah yang tidak pernah lekang juga mengingkatkan kita dengan pertempuran sengit yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur.

Dimana tepat 10 November 1945, tentara Indonesia dan pasukan Belanda bertempur habis-habisan dan sampai saat ini pertempuran itu masih tercatat sebagai peristiwa terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia atas perlawanan terhadap kolonialisme.

Namun, tanpa harus melangkah jauh menyeberang ke Pulau Jawa. Di Aceh sendiri, 3 tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bertempat di Desa Cot Plieng, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara atau kurang lebih 10 km sebelah timur Lhokseumawe sebuah peristiwa sejarah juga tidak lepas dari ingatan.

10 November 1942, seorang ulama kharismatik bernama Tgk Abdul Jalil Cot Plieng bersama ratusan santrinya syahid dan menjadi saksi atas kebrutalan pasukan Nippon yang mencoba menghancurkan rumah-rumah ibadah di Aceh.

Sejak Maret 1942, Jepang kerap sudah membuat keonaran di daerah Lhokseumawe dan sekitarnya, berbagai taktik dan politik pun mereka gencarkan untuk menundukkan rakyat Aceh di bawah kekuasaan mereka. Namun, cara Jepang tidak berlaku bagi ulama muda Tgk Abdul Jalil, yang waktu itu masih berumur 21 tahun.

Melihat gejala-gejala yang dilakukan Jepang, Tgk Abdul Jalil tidak tinggal diam dengan serta merta beliau mengajak para santrinya untuk membulatkan tekad dan semangat berjuang di jalan Allah (fisabilillah) melawan pasukan Jepan dengan membaca hikayat Prang Sabi.

Serangkaian serangan dari Jepang pun tidak bisa dihindari ke tempat-tempat dimana Tgk Abdul Jalil berada. Jepang pun akhirnya mengetahui keberadaan beliau, waktu itu Tgk Abdul Jalil sedang berada di Masjid Gampong Buloh Teungoh. Ba’da menunaikan shalat Ashar, pasukan Nippon menggebrek masuk ke dalam masjid dan memuntahkan peluru tajam ke tubuh Tgk Abdul Jalil dan disitulah jasadnya rubuh menghadap-Nya.

Teringat dengan kalimat-kalimat yang selalu digelorakan oleh Tgk Abdul Jalil dalam setiap memberikan ceramah kepada para santri, “jika kita harus mati, marilah kita mati bukan sebagai budak, tapi mati sebagai syuhada, yang tewas di medan perang dengan rencong terhunus!”, begitulah penggalan dalam syair Prang Sabi.

Peristiwa Cot Plieng ini tidak saja kehilangan Tgk Abdul Jalil, rekan seperjuangan serta ratusan santrinya juga ikut menjadi syuhada dalam mempertahanakan agama Allah.

Sudah 70 tahun sejarah itu berlalu dari ingatan kita, tepat di Hari Pahlawan. Tgk Abdul Jalil dan santrinya telah menoreh sebuah sejarah yang begitu dalam untuk mempertahankan martabat dari rongrongan dan nafsu kaphe-kaphe Jepang yang ingin menjajah. Semoga kita masih bisa untuk mengingat mereka adalah bagian dari pahlawan yang tidak hilang tergerus jaman.[]