“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Yusuf [12]: 111)
Pikirkanlah dengan dalam! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun silam dengan perempuan zaman sekarang. Mereka digerakkan oleh semangat jihad dan syahid untuk menegakkan agama Allah bersama kaum laki-laki—bukan oleh gerakan emansipasi atau feminisme modern. (Kekaguman Buya Hamka atas Keteguhan Cut Nyak Dien)
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah.”
Sejarah perempuan Indonesia bukan sekadar catatan perjuangan kesetaraan, tetapi juga kisah kepemimpinan: dari pemangku takhta kerajaan, negarawan, hingga panglima perang. Di Aceh, nama-nama seperti Laksamana Malahayati dan Ratu Nihrasiyah Chadiyn telah mengukir jejak. Namun, ketika melangkah ke akhir abad ke-19—masa perlawanan sengit Aceh melawan Belanda—kita bertemu dengan sosok-sosok luar biasa: Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Teuku Fakinah. Sayangnya, pengorbanan mereka nyaris tenggelam dalam pusaran zaman.
Mengapa Aceh melahirkan begitu banyak tokoh perempuan pengusir imperialis? Menurut Teuku H. Ainal Mardhiah Aiy dalam “Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau sampai Masa Kini”, jawabannya terletak pada prinsip Kesultanan Aceh Darussalam. Dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara serta Qanun dan Hadits sebagai sumber hukum, perempuan Aceh diberi ruang setara untuk memimpin—baik dalam pemerintahan maupun medan perang. Dari sanalah lahir perempuan-perempuan tangguh yang tak kalah gagah dari para kesatria.
Cut Nyak Dien: Mujahidah dari Tanah Rencong
Siapa yang tidak mengenal Cut Nyak Dien? Namun, sedikit yang memahami alasan kegigihannya melawan penjajah.
Cut Nyak Dien berasal dari kalangan bangsawan, putri Nanta Seutia Raja Uleebalang VI Mukim. Cantik, berbudi luhur, tangkas, dan berwatak kuat adalah gambaran yang tepat untuknya. Nanta Seutia berharap putrinya menikah dengan pejuang cinta tanah air. Maka, Cut Nyak Dien pun menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, panglima perang melawan Belanda. Keduanya bersatu dalam tekad mengusir “kaphe Belanda”—musuh agama dan negara.
Perjuangannya dimulai dengan mendidik perempuan Aceh tentang pengasuhan anak dan menanamkan semangat jihad melalui syair. Saat perang memanas, ia menggerakkan perempuan untuk turut berperang. Ketika Teuku Ibrahim gugur syahid (29 Juni 1878), Cut Nyak Dien tidak larut dalam duka. Sebaliknya, ia bangga atas kemuliaan sang suami.

Bersama Teuku Umar: Strategi dan Pengkhianatan
Setelah menjanda, Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar yang diangkat sebagai panglima. Saat banyak hulubalang menyerah kepada Belanda, Cut Nyak Dien tetap teguh menolak damai. Semangat jihadnya terus menyala, bahkan ketika Teuku Umar memilih taktik hijrah ke pihak Belanda pada 1893.
Teuku Umar menyatakan kesetiaan kepada Belanda dalam upacara resmi, mendapat gelar Johan Pahlawan, rumah megah, dan gaji. Selama tiga tahun, Cut Nyak Dien tetap menentang kebijakan suaminya. Di saat genting ini, Teuku Fakinah—pejuang wanita sekaligus sahabatnya—mengirim surat agar Teuku Umar menyerang benteng Inong Balee. Tujuannya: membuktikan keberanian janda-janda Aceh. Surat ini menyadarkan Cut Nyak Dien untuk mengembalikan langkah suaminya.
Teuku Umar akhirnya berpaling lagi ke pihak Aceh setelah memperoleh senjata dari Belanda: 380 senapan achterlaad, 25.000 peluru, dan uang $18.000. Bersama Cut Nyak Dien, ia memimpin perang gerilya hingga gugur syahid. Cut Nyak Dien pun bersumpah: “Demi Allah, selama Pahlawan Aceh masih hidup, peperangan tetap kuteruskan untuk agama, kemerdekaan bangsa, dan negara!”
Artikel Sejarah Lainnya:
- 24 Oktober, Perjuangan Cut Meutia Berakhir dengan Belanda
- Tun Sri Lanang, Kisah yang Terkubur Tiga Abad Lalu
- Pang Wahab, Panglima Perang Aceh di Tiga Zaman
- Kiprah Abu Indrapuri Sebagai Ulama
- Teuku Markam, Mati Nista di Masa Orba
Akhir Perjalanan, Tertangkap dan Pengasingan
Selama 16 tahun setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien terus bergerilya di hutan-hutan Aceh. Namun, pada 6 November 1905, Belanda berhasil menemukan persembunyiannya. Dalam kondisi tua dan sakit, ia tetap berusaha melawan. Ketika seorang perwira Belanda, Letnan Van Vuuren, mencoba menahannya, ia marah dan berkata, “Jangan kau sentuh kulitku, kafir!”
Dalam versi lain, disebutkan bahwa pengkhianatan datang dari Panglima Laot, seorang pengikutnya. Panglima Laot melaporkan keberadaan Cut Nyak Dien kepada Belanda karena tak tahan melihat kondisi pahlawan perempuan itu yang semakin lemah. Saat ditangkap, ia berteriak, “Cis, kau pengkhianat!” kepada Panglima Laot.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Di sana, ia menghabiskan sisa hidupnya dalam kondisi buta dan sakit hingga wafat pada 6 November 1908. Meskipun jauh dari tanah kelahirannya, semangat juangnya tetap dikenang sepanjang masa.
Warisan yang Tak Padam
Snouck Hurgronje menyebut kekuatan Aceh terletak pada agama, bukan fisik. Begitu pula semangat Cut Nyak Dien. Pengaruhnya begitu besar hingga Belanda mengisolasi ia jauh dari tanah kelahiran. Bahkan Pol menulis bahwa para uleebalang dan penghulu di Meulaboh masih menghormatinya sebagai simbol perlawanan.
Cut Nyak Dien bukan hanya pejuang tangguh, tetapi juga istri setia yang mendukung suami meski tak sejalan. Keteguhannya mengajarkan: perjuangan tak hanya tentang senjata, tetapi juga keyakinan dan kecerdasan strategi.
Wallahu’alam bi ash-shawwab.
Referensi:
- Suny, Prof. DR. Ismail S.H., M.C.L. (1980). Bunga Rampai tentang Aceh. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Hal. 297.
- Said, Mohammad H., (2007). Aceh Sepanjang Abad jilid II cet. III. Medan: Harian WASPADA. Hal. 277.
- Suny, Prof. DR. Ismail S.H., M.C.L. (1980). Bunga Rampai tentang Aceh. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Hal. 301.
- Ibid. Hal. 301.
- Said, Mohammad H., (2007). Aceh Sepanjang Abad jilid II cet. III. Medan: Harian WASPADA. Hal. 339.
- Ibid. Hal. 331.
Belum ada komentar