Jakarta — Investor pertambangan emas dan tembaga PT Kalimantan Surya Kencana terancam mengalami kerugian hingga 24 juta dolar AS akibat ketidakjelasan aturan perizinan dari Kementerian Kehutanan.

Government Relation Kalimantan Surya Kencana (KSK) Prasetianto Mangkusubroto di Jakarta, Minggu (25/11), mengatakan pihaknya meminta pemerintah segera menyelesaikan masalah perizinan tersebut.

“Ketidakjelasan perizinan ini menjadi kendala bagi iklim investasi,” katanya.

Menurut dia, dana 24 juta dolar tersebut merupakan investasi yang sudah dikeluarkan KSK untuk kegiatan ekplorasi sejak 1997 hingga kini.

“Selama periode Mei 2012 sampai saat ini, kami sudah keluarkan dana eksplorasi sebesar tujuh juta dolar AS atau secara total sejak 1997 mencapai 24 juta dolar AS. Sementara, sepeserpun belum kami peroleh, karena memang belum produksi,” ujarnya.

Ia menambahkan, rencana investasi Freeport McMoran sebesar tujuh juta dolar AS untuk kegiatan eksplorasi lanjutan juga bakal hangus jika tahapan studi kelayakan tidak tercapai.

Dampak lainnya, menurut Prasetianto, tenaga kerja lokal yang kini sudah mencapai 300 orang akan menganggur akibat kendala perizinan lahan tersebut.

“Kalau sudah ke tahap produksi, penyerapan tenaga kerja ditaksir bisa mencapai ribuan orang,” katanya.

KSK atau juga dikenal sebagai Kalimantan Gold, merupakan pemegang kontrak karya generasi keempat yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 17 Maret 1997.

Luas lahannya mengalami beberapa kali pengurangan. Semula 124.000 ha, tetapi melalui Surat Keputusan Menteri ESDM diperkecil menjadi 61.001 ha yang terletak di tiga kabupaten di Kalteng yakni Murung Raya, Katingan, dan Gunung Mas, serta Sintang, Kalimantan Barat.

Selanjutnya, menurut Prasetianto, pihaknya sebenarnya sudah memperoleh izin eksplorasi di kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan seluas 60 ribu ha.

Setelah masa izin eksplorasinya habis, KSK kembali mengajukan perpanjangan ijin ke Kemhut pada 2009.

Namun, lanjutnya, sesuai SK Menhut Nomor 134/Menhut-II/2012, luasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) hanya diberikan 7.422 ha.

“Besaran luasan itu janggal. Kami minta 60 ribu ha sebagai perpanjangan atas izin sebelumnya, tapi hanya diberi 7.442 ha. Apa dasar hukum memperkecil luas lahan itu,” tanyanya.

Ia juga mempertanyakan, IPPKH yang didapat dalam jangka waktu cukup lama yakni setelah selama tiga tahun sejak diajukan pada 2009.

Dengan luasan hanya 7.442 ha tersebut, menurut Prasetianto, tidak cukup ekonomis bagi KSK untuk melanjutkan ke tahapan studi kelayakan.

Pada Agustus 2012, KSK mengajukan lagi IPPKH untuk sisa lahannya dan belum mendapat jawaban.

“Untuk kegiatan eksplorasi membutuhkan luas lahan yang besar. Dari 100 titik eksplorasi, kemungkinan hanya 10 yang bisa dilanjutkan ke tahap studi kelayakan, dan selanjutnya bisa satu atau tidak sama sekali yang masuk tahap produksi,” ujarnya.

Ia juga berharap, pemangkasan birokrasi saat pemrosesan perizinan IPPKH.

“Untuk IPPKH ini, kami mesti melewati 50 meja di tiga ditjen. Kami setuju ada ijin, tapi jangan terlalu banyak meja. Dari 50 mungkin dipangkas 10 meja saja,” ujarnya. (bd/ant)