Setelah kakinya diamputasi, Pocut Baren berhenti memanggul senjata. Srikandi itu pulang kampung dan membantu rakyatnya mengembangkan pertanian. Ia berhasil membuat Tungkop menjadi daerah surplus padi. Gubernur menghadiahkannya sebuah kaki palsu.

JIKA Gubernur Van Daalen menampik usul TJ Veltman, perwira penghubung Belanda yang menyarankan agar Pocut Baren tidak diasingkan ke Pulau Jawa setelah tertangkap, lembaran sejarah Aceh akan terisi kisah tentang dua srikandi perkasa terbuang jauh dari negeri endatu. Tapi, untunglah gubernur militer itu setuju.

Veltman iba melihat Pocut Baren tak berdaya di ranjang, setelah kaki panglima perang ini diamputasi dokter pertengahan 1910. Dalam benak Veltman, Pocut yang cacat sudah tidak ingin lagi melanjutkan perjuangan bersenjata melawan kolonial. Bagi Veltman, ini juga salah satu strategi untuk meredam pergolakan.

Maka, setelah Pocut Baren sembuh dari sakitnya dan diyakini tidak akan memimpin pasukan, Van Daalen mengizinkannya kembali ke kampung halamannya di Tungkop, Aceh Barat. Meski tak lagi gagah, kepulangannya disambut banyak orang. Di sana, dia menjadi seorang uleebalang, mewarisi jabatan pemangku adat yang dulu diemban orang tuanya.

Sejak itu, Pocut Baren benar-benar meninggalkan medan perang. Ia memilih berjuang dengan cara lain, dengan cara yang jauh dari kekerasan dan pertumpahan darah, yakni membangun Tungkop. Ia aktif menggerakkan kehidupan rakyatnya ke arah lebih baik. Ia mengajarkan sistem pertanian kepada penduduk, lalu pelan-pelan menata perekonomian.

Ketika Belanda menjajah, perekonomian Tungkop dan hampir sebagian besar Aceh Barat benar-benar mundur. Sawah-sawah terbengkalai dan akhirnya menjadi lahan tidur. Salah satu penyebabnya, banyak penduduk terlibat perang dan tidak menghiraukan musim tanam. Ini menyebabkan munculnya kemiskinan dan kelaparan, sehingga rakyat di sana harus makan ubi.

Pocut Baren kemudian berpikir bagaimana cara mengembalikan kondisi perekonomian Tungkop. Sebagai uleebalang, ia memimpin rakyatnya menghidupkan kembali lahan-lahan terbengkalai. Sawah kembali digarap, kebun ditanami buah-buahan, sayur , kelapa, pala, kakao, cengkeh, nilam, mangga, pisang, jagung dan tanaman lain. Untuk mendukung usaha ini, Pocut Baren kemudian menggerakkan rakyatnya untuk gotong-royong membuat irigasi ke sawah-sawah.

Dalam lembaran literatur sejarah disebutkan Pocut Baren mengembangkan ide brilian dalam bidang pertanian. Salah satunya, ia menyarankan penduduk menanam padi serentak agar siklus hama bisa dikontrol dan gerakan pembasmiannya bisa dilakukan menyeluruh.

Pocut juga memperkenalkan “Panca Usaha Tani” kepada penduduk. Sistem ini mencakup lima kegiatan. Pertama, mengolah tanah secara baik dan benar. Kedua, menyemai bibit secara benar. Ketiga, memberantas hama dengan memanfaatkan predator (hewan yang memangsa hewan lain). Keempat, menggunakan pupuk dengan dosis tepat, berupa pupuk kandang dan pupuk organik (kompos). Kelima, mengairi sawah sesuai dengan kebutuhan tanaman padi.

Komitmen dan kerja keras Pocut kemudian menjadikan Tungkop daerah surplus pertanian. Pada musim panen, produksi padi Tungkop bahkan bisa menopang kekurangan pangan daerah lain di Aceh Barat. Perekonomian rakyat, yang lama terpuruk, berangsur pulih. Tungkop kemudian menjadi daerah aman, tenteram dan makmur.

Belanda ikut gembira dengan kesuksesan Pocut. Letnan H Schuerleer, Komandan Bivak Tanoh Mirah, dalam laporan resmi kepada Gubernur Militer Aceh di Kutaraja (Banda Aceh), menyebutkan srikandi yang terluka itu berhasil menciptakan ketertiban, keamanan dan kemakmuran. Sebagai wujud terima kasih pemerintah, TJ Veltman yang dulu melarang pengasingan ke Pulau Jawa memberi hadiah sebuah kaki palsu yang terbuat dari kayu untuk  Pocut.

Perjuangan Pocut Baren

Pocut Baren lahir dengan darah bangsawan pada tahun 1880 di Tungkop, Aceh Barat. Ia adalah putri Teuku Cut Amat, uleebalang cukup berpengaruh di daerahnya.Karena ayahnya dihormati di kampung, banyak ulama datang rumahnya untuk mendiskusikan masalah-masalah keagamaan. Kondisi ini membuat Pocut cepat menyerap ilmu-ilmu Islam langsung dari ulama-ulama itu.

Pendidikan agama mampu mempertegas jiwa dan kepribadian Pocut Baren, hingga ia menjadi wanita muda mandiri yang berani berkorban apa saja demi tegaknya kepentingan agama dan bangsanya.

Ketika dewasa, Pocut Baren menikah dengan seorang pejabat daerah (keujruen) yang juga menjadi uleebalang di Gume, Aceh Barat. Suaminya pernah memimpin perlawanan menentang pasukan Belanda di Woyla.

Perjuangan Pocut Baren melawan Belanda dimulai sejak ia bergabung dengan Cut Nyak Dhien. Pocut menunjukkan kesetiannya pada Cut Nyak Dhien, baik dalam berperang bersama maupun dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain. Pengalaman perjuangannya bersama dengan Cut Nyak Dhien kemudian berpengaruh besar dalam membangkitkan keberanian dirinya lanjut. Bahkan, suatu saat ia memimpin pasukannya sendirian.

Menurut penulis asal Belanda, Doup, Pocut Baren mulai berjuang melawan Belanda sejak tahun 1903 hingga 1910. Ia juga pernah berjuang bersama suaminya. Tapi, takdir kemudian membuat mereka terpisah. Suami Pocut akhirnya meninggal dunia di medan perang. Ini terjadi ketika Pocut dan suaminya berperang di Gume. Pasukan Belanda yang diperkuat personil militer berjumlah besar mampu memukul mundur pasukan pejuang Aceh. Suaminya tewas tertembak. Pocut berhasil meloloskan diri dari kepungan serdadu penjajah.

Meski kemudian Pocut Baren harus berjuang sendirian, ia tetap gigih. Semangatnya tidak pudar. Ia menghimpun kembali kekuatan pasukannya dengan cara memobilisasi penduduk di wilayah Kaway XII. Ia mengumpulkan kembali sisa-sisa pasukannya yang masih ada, meneruskan perjuangan itu.

Sambil menyatukan kembali kekuatan, Pocut Baren membangun benteng di GunungMacan, yang kemudian dijadikan pusat pertahanan dari serangan musuh. Di benteng ini, segala rencana penyerangan disusun dengan strategi cukup rapi. Belanda pun tidak mau kalah. Mereka membangun tangsi secara besar-besaran di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Dari kedua tempat inilah Belanda menyerang Pocut Baren.

Dari pusat pertahanannya di Gunung Macan, Pocut lebih banyak menyerang tangsi-tangsi Belanda di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Pasukan Belanda sendiri tidak berani langsung menyerang Gunung Macam, karena pertahanan di sana cukup kuat. Meski demikian, pasukan Pocut Baren belum mampu membuat pasukan Belanda hengkang.

Pada tahun 1910, Belanda melakukan penyerbuan secara besar-besaran ke Gunung Macan. Pasukan Belanda ketika itu dipimpin langsung oleh Letnan Hoogers. Benteng Pocut Baren digempur habis-habisan. Pocut tidak merasa takut dengan serangan itu. Ia memimpin pasukannya dengan maksud untuk mempertahankan benteng tersebut. Namun, ia tertembak dan terluka parah. Pocut akhirnya tertangkap dan dibawa ke Meulaboh. Penangkapan ini menandai berakhirnya perlawanan Pocut terhadap Belanda.

Untuk proses pengobatan lukanya, Pocut Baren diboyong ke Kutaraja. Lukanya cukup parah, sehingga tim dokter Belanda kemudian memutuskan untuk mengamputasi kaki pocut.

Selama di Kutaraja, Pocut Baren diperlakukan sebagai tawanan perang. Sejak inilah perlawanan Pocut Baren bisa diredam. Pocut, yang dulu dikenal seperti singa, lemah setelah kakinya buntung. Kemudian ia berhenti memanggul senjata. Belanda mengembalikannya ke Tungkop. Dan di sana, di tanah kelahirannya, Pocut meninggal dunia pada tahun 12 Maret 1928. [opie]