Seputaraceh

Kuta Reh, 108 Tahun Lalu

Kuta Reh, 108 Tahun Lalu
Kuta Reh, 108 Tahun Lalu

[quote]Kemenangan gugatan korban tragedi Rawagede terhadap Belanda menginspirasi Aceh soal Kuta Reh.[/quote]

[dropcap]A[/dropcap]ma Mala, Ine Mala dan Mala terlibat perbincangan serius. Ama (ayah) mengutarakan keinginannya untuk bergabung dengan kelompok pejuang untuk melawan penjajah Belanda.

Sementara itu, Ine (ibu) melarang Ama ikut berjuang karena umurnya yang sudah tua, namun Ama tetap pada tekadnya bergabung dengan pejuang. Mala, anak semata wayang Ama dan Ine yang baru beranjak dewasa, hanya bisa menangis.

Dalam sebuah pertempuran antara pejuang Aceh dengan Belanda, Ama pun tewas, selanjutnya Mala yang telah dewasa ingin meneruskan perjuangan Amanya. Namun, saat Mala hendak bergabung dengan kelompok pejuang, pasukan Belanda yang dipimpin Gotfried Coenraad Ernst van Daalen datang ke perkampungan Kuta Reh dan membunuh hampir 3.000 penduduk setempat.

Hanya satu orang anak yang tersisa dalam pembantaian tersebut yang kemudian bergabung dengan Cut Nyak Dhien, dan mendampingi perempuan tersebut hingga meninggal ditawan Belanda.

Lakon tersebut dikisahkan di atas panggung di Taman Budaya Kota Banda Aceh, Selasa pekan lalu. Sutradara Drama Kuta Reh, Gayo, Mustika Permana mengaku drama tersebut sengaja dibuat untuk mengingatkan pernah terjadi pembantaian sadis oleh tentara Belanda di tanah Gayo tepatnya di Kuta Reh Kabupaten Gayo Lues.

Pembantaian Kuta Reh terjadi pada 14 Juni 1904 di Kuta Reh, Gayo. Pembantaian menyebabkan 2.922 warga dibunuh, terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan. Tapi, menurut catatan Kempes dan Zentgraaff, korban pembantaian itu mencapai 4.000 orang.

Menaklukkan Aceh

Pembantaian di Kuta Reh itu bermula dari keinginan Gubernur Militer Belanda di Aceh, Van Huetsz, untuk menaklukkan seluruh Aceh setelah raja Aceh Sulthan Muhammad Daud Syah menyerah pada 1903. Ia memerintahkan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen untuk menyerang daerah Gayo Lues pada 1904.

Keberingasan maréchaussée atau marsose itu berdampak pada penyerangan-penyerangan selanjutnya ke berbagai daerah operasi. Mereka menjadi pasukan yang di luar kendali dan bertindak brutal. Mulai dari penyerangan ke Gayo Laut, Gayo Deret, sampai kemudian Van Daalen dan pasukannya pada 9 Maret 1904 menyerang Gampong Kela, sebuah daerah terpencil di Gayo Lues pada masa itu.

Mulai dari kampung itulah penaklukan demi penaklukan dilakukan Van Daalen, dimulai dari benteng pasir pada 16 Maret 1904, Gemuyung pada 18, 19 dan 20 Maret 1904, Durin pada 22 Maret 1904, Badak pada 4 April 1904, Rikit Gaib pada 21 April 1904, Penosan pada 11 Mei 1904 dan Tampeng pada 18 Mei 1904.

Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan akhirnya dibunuh. Menurut catatan Keempes dan Zentegraaf, hampir 2.922 rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti Aman Linting, Aman Jata, H Sulaiman, Lebe Jogam, Srikandi Inen Manyak Tri, dan Dimus.

“Tapi, tidak semua orang tahu pernah terjadi pembantaian di tanah Gayo. Pembantaian tersebut diketahui karena ada dokumentasi berupa foto setelah tentara Belanda selesai membantai warga di Kuta Reh,” tutur Mustika.

Tidak hanya warga Aceh atau Indonesia, warga Gayo sendiri sudah tidak banyak yang tahu pernah terjadi pembantaian ribuan warga sipil saat penjajahan Belanda tersebut. “Sebagian besar orang telah melupakan kejadian itu,” ujar Mustika.

Gugat Belanda

Warga Aceh yang bermukim di Swedia juga pernah menggugat pemerintah Belanda terkait pembantaian Kuta Reh, Gayo, di masa Perang Aceh. Gugatan tersebut terinspirasi dari putusan Pengadilan Den Haag yang menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus memberi kompensasi pada korban pembantaian di Rawagede.

Keputusan itu menjadi preseden baik bagi korban kejahatan perang Belanda lainnya: bahwa kejahatan hak asasi manusia tidak terikat waktu. Salah satunya, Aceh. “Kawan-kawan di sini merasa kemenangan Rawagede sebagai keuntungan bagi Aceh dan juga menambah semangat untuk menuntut keadilan,” kata aktivis Aceh di Swedia, Asnawi Ali.

Tragedi Kuta Reh oleh sebagian rakyat Belanda juga masih dikenang sebagai sesuatu yang keji dan sadis

Warga Aceh akan bekerja sama dengan mitra hukum di Belanda. Mereka optimistis, meski pembantaian tersebut terjadi jauh sebelum tragedi Rawagede.

“Perlu digarisbawahi bahwa Aceh dulu berperang melawan Belanda. Perang Aceh itu merupakan yang terpanjang. Meskipun sudah lama, anak cucu korban masih menuntut keadilan. Salah satunya adalah cucu Raja Aceh yang masih hidup,” kata Asnawi. Selain itu, mereka yakin dengan keobjektifan penegak hukum, terutama pengadilan di Belanda.

Menurut Asnawi, gugatan atas tragedi Kuta Reh sebenarnya bukan hal baru. Gugatan tersebut pernah dilakukan beberapa tahun silam, tapi gagal dengan alasan kedaluwarsa.

Namun, apa yang terjadi dalam proses hukum tragedi Rawagede membuat apa yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu hendak diulangi lagi. Alasan kedaluwarsa ternyata ditolak majelis hakim Pengadilan Sipil Den Haag karena sifatnya yang khusus.

“Tragedi Kuta Reh oleh sebagian rakyat Belanda juga masih dikenang sebagai sesuatu yang keji dan sadis. Tragedi tersebut terdokumentasi dengan baik dalam wujud foto yang dipublikasikan pada 1905 dan oleh sebagian rakyat Belanda dinilai sebagai wajah kolonialisme secara keseluruhan di Indonesia. Sebagian lagi menilai foto tersebut hanyalah sebagai perkecualian.

Namun, secara umum, hal tersebut memperlihatkan adanya pembunuhan massal di era Perang Aceh yang cukup panjang dan melelahkan bagi Belanda,” ujarnya. (Junaidi Hanafiah/Sinar Harapan)

Belum ada komentar

Berita Terkait