Air laut perlahan mengusir kehidupan dari kota Singkil, Aceh. Rumah, sekolah, kantor polisi, dan masjid ambles ke dalam bumi, lalu terisi air. Kota Singkil sepertinya akan bernasib sama dengan Singkil lama yang terlebih dulu hilang ditelan Samudra Hindia.

Pagi itu langit cerah setelah berhari-hari sebelumnya mendung mengirim hujan. Kami menghilir menyusuri Sungai Singkil dengan perahu untuk mencari jejak kota Singkil lama.

Lebat nipah dan bakau memagari tepian sungai. Sekitar 45 menit berperahu, kami tiba di tepi pantai. Deretan pohon mengering. Akar dan sebagian batang pohon itu tenggelam.

”Dulu ini hutan lebat. Setelah gempa 2004 dan 2005, tanah turun. Pohon-pohon mati. Hanya bakau yang bisa tumbuh,” kata Alimuddin (64), penduduk Singkil baru yang jadi penunjuk jalan. ”Di sini masih ada kuburan, rel, sumur, dan tembok rumah,” kata Alimuddin. Dia lalu menuntun kami ke rawa-rawa untuk mencari reruntuhan kota yang ditinggalkan itu.

Hutan bakau tumbuh lebat, lumpur hingga sepaha dalamnya. ”Terakhir ke sini tiga tahun lalu tidak selebat ini,” kata Alimuddin kebingungan.

Tiba-tiba Alimuddin yang berjalan cepat menghilang dalam lebat bakau. Kami terpisah dan berpencar. Dari hutan, muncul Rai Radi (34). ”Wah, kalian menakuti burung. Bakal tak ada tangkapan hari ini,” keluh lelaki dari Desa Ujung, Singkil.

Rai berburu burung di Singkil lama sejak 10 tahun lalu. Dia membuat jebakan kurungan yang diberi batok kelapa berisi air dan makanan. Setiap burung yang masuk tak akan bisa keluar. Hanya burung dan ikan yang bisa hidup di Singkil lama.

”Padahal, di sinilah dulu kakek-nenek kami bermukim,” katanya. Rai lalu menunjuk lubang-lubang bekas penggalian yang menganga di sejumlah titik. ”Itu bekas orang menggali untuk cari harta karun,” katanya.

Rai mengajak mencari peninggalan Singkil lama. Di rawa-rawa yang dikelilingi lebat bakau, kami menemukan makam tua yang dikelilingi reruntuhan tembok bata. Kami juga menemukan koin bertuliskan Hindia Belanda berangka tahun 1834, pecahan keramik dan kaca, sumur tua, serta reruntuhan tembok bata. ”Ini hanya sisanya. Kata orang tua, dulu di sebelah sana banyak deretan dinding rumah,” kata Rai, menunjuk Samudra Hindia.

”Galoro”

Tak ada catatan pasti kapan Singkil lama tenggelam. Namun, berdasarkan catatan Moehammad Saleh dalam buku otobiografinya, Riwajat Hidoep dan Perasaian Saja, 1965, hingga pertengahan abad ke-19, kota Singkil masih menjadi salah satu pusat perdagangan.

Sekitar awal 1861, Saleh berlayar ke Singkil untuk berdagang. Dia menginap beberapa hari, lalu kembali berlayar ke Pariaman. ”Belum lama saya di Pariaman, kembali dari Singkil, pecah kabar bahwa Pasar Singkil tenggelam, terbenam karena gelora (air laut) naik yang disertai gempa bumi,” tulis Saleh. Gempa itu disebut Saleh telah menenggelamkan gosong Djawi-Djawi yang berada di dekat Singkil. ”Bukan hanya Pasar Singkil yang tandas, perkuburan pun disapu licin air bah. Banyak orang mengungsi, melarikan badan ke bagian selatan Singkil, ke Ujung Bawang.”

Dalam rekaman warga, Singkil lama ditinggalkan karena dilanda galoro, yaitu ombak besar yang menerjang daratan setelah terjadi gempa. ”Cerita galoro ini berulang kali diceritakan orangtua kami,” kata Datuk Amirul Alam (74), warga Kilangan, Singkil. ”Kami baru tahu galoro itu sama seperti tsunami setelah gempa 26 Desember 2004.”

Setelah dilanda galoro, warga Singkil lama pindah, menjauh dari muara Kuala Singkil. Permukiman baru itu kini dikenal dengan Singkil. ”Permukiman pertama di Kilangan yang paling ujung di dekat sungai, kemudian menyebar ke Desa Ujung, Desa Pasar, dan Pulau Sarok.”

Singkil baru

Namun, kota Singkil (baru) di sebelah hulu sungai, sekitar 45 menit berperahu motor dari Singkil lama, kembali tenggelam setelah dihantam gempa pada 26 Desember 2004, disusul gempa pada 28 Maret 2005.

Setelah dua gempa itu, daratan di Singkil ambles. Peneliti gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman, menemukan, daratan di Singkil turun 0,5 meter hingga 1,5 meter akibat gempa Maret 2005.

Sedikitnya 3.000 rumah di Singkil terendam air laut akibat turunnya tanah. Warga terpaksa meninggalkan rumah. Sebagian di antaranya kembali dan meninggikan lantai rumah mereka.

Abnan Balok (44), warga Kampung Kilangan, Singkil, mengatakan sudah tiga kali meninggikan lantai rumahnya. Akibatnya, jarak lantai rumah dan langit-langit semakin pendek.

”Padahal, di sini dulu pasar ikan, ramai sekali,” ujar Bakarudin (63), warga Desa Pasar, Singkil, meratapi kotanya yang terus tenggelam.

Hilangnya Singkil lama dan tenggelamnya Singkil (baru) membuktikan kuasa alam dalam mengubah jalan sejarah. (Agung Setyahadi/Ingki Rinaldi/kompas)