Jauh setelah perang usai, para serdadu satuan tempur khusus Marsose mengenang Aceh sebagai sebuah paradoks; ladang pembantaian musuh sekaligus kuburan yang mereka gali untuk mereka sendiri.
MENJELANG tengah malam, Kamis 10 September 1926, Teungku Peukan memanggil tiga panglima perang andalannya; Said Umar, Nyak Walad dan Waki Ali. Ketiganya diminta segera mengumpulkan pasukan di Meunasah Ayah Gadeng Manggeng. Sebuah rencana sudah disiapkan. Mereka akan berperang, menyerbu kompi Marsose di Kota Blangpidie.
Tapi, di meunasah itu, Teungku Peukan tidak menjabarkan strategi serangan frontal yang sudah disiapkan sejak sepekan terakhir. Dia meminta para pejuang mengikuti ritual wirid dan zikir. Hajatan malam itu selesai. Di ujung pertemuan, Teungku Peukan mengobarkan semangat jihad kepada para pengikutnya, agar tidak gentar melawan serdadu Marsose.
Pertemuan tidak selesai di situ. Teungku Peukan kemudian meminta para pejuang, yang jumlahnya hampir 200 orang, berjalan kaki hingga 20 kilometer menuju Balee Teungku di Lhoong Dayah Geulumpang Payong. Mereka tiba di balee itu pada Jumat dini hari. Di sana, pasukan mengkuti briefing. Pimpinan pasukan menjabarkan rencana serangan.
Waktu itu semua pejuang Aceh diwajibkan memakai pakaian serba hitam dan melilitkan kain kuning di pinggang. Para pejuang diwajibkan menyingsingkan celana sejengkal di atas mata kaki untuk menciptakan kesan sigap dan tidak sombong. Pimpinan pasukan juga berpakaian sama, tapi dilengkapi selempang kuning yang menyilang di bahu hingga pinggang.
Usai shalat subuh, pekik takbir membahana. Dalam sisa-sisa gelap sebelum fajar muncul di langit timur pada pagi hari yang disucikan itu, semua pejuang tiba di Blangpidie dengan klewang dan rencong terhunus. Mereka menyerang tangsi dari tiga sektor. Sektor pertama, yang dipimpin Said Umar, menyerang dari depan. Dua lainnya, dipimpin Wakil Ali dan Nyak Walad, menyerang tangsi Marsose dari kiri dan kanan.
Serangan fajar itu dilakukan dengan sporadis. Serdadu di menara pengintai ditikam dari belakang. Ratusan lainnya, yang sedang tertidur pulas di barak, diserang tiba-tiba. Serdadu Marsose yang dikenal dengan sebutan “Belanda Hitam” (pribumi yang direkrut untuk menjadi tentara bayaran di kemiliteran Belanda ), kocar-kacir. Tangsi berantakan. Senjata api dirampas. Sedikitnya 70 Marsose tewas. Sebagian lainnya terluka dan melarikan diri. Hanya tiga orang yang selamat hidup-hidup dan kemudian ditawan.
Di kubu pejuang Aceh, lima orang tewas.
Menyambut kemenangan perang ini, Teungku Peukan maju ke depan dan mengumandangkan azan. Ini sudah biasa dilakukannya di medan pertempuran. Tapi sayang, harga kemenangan ini sungguh mahal. Teungku Peukan gugur. Ketika azan belum selesai, seorang serdadu Marsose yang bersembunyi di sebuah bilik di Tangsi menembaknya. Teungku Peukan rubuh bersimbah darah. Sebutir peluru karaben menembus dadanya.
Teungku Muhammad Kasim, putra Teungku Peukan, sangat marah ketika mendapati ayahnya sudah tak bernyawa. Ia mengamuk. Pecahan kaca di tangsi digenggamnya kuat-kuat, hingga darah mengucur di lengan kanannya. Ia berlari mengejar serdadu Marsose itu, ingin menikamnya. Tapi, ia kalah cepat, seorang serdadu lain lebih dulu menembak. Teungku Muhammad Kasim rubuh. Ia gugur, menyusul ayahnya.
Di siang yang hening, Jumat 11 September 1926, Teungku Peukan dimakamkan tidak jauh dari lokasi ia tertembak, di sekitar Mesjid Jamik Blangpidie.
Dalam berbagai literatur sejarah, “Serangan Fajar 11 September 1926” dikenal sebagai salah satu pertempuran paling ganas sepanjang sejarah Marsose di Aceh.
Di masa-masa itu, Bakongan Aceh Selatan juga menjadi salah satu tempat paling menakutkan bagi Marsose. Banyak anggota pasukan khusus yang ditugaskan ke daerah ini “pulang tinggal nama”. Kisah yang paling menakutkan bagi Marsose adalah hampir setiap pekan “Kapal Putih” milik angkatan perang Belanda mengangkut puluhan mayat rekan-rekan mereka dari Bakongan menuju Kutaraja (Banda Aceh).
Gejolak perlawanan pejuang Aceh yang paling sulit ditaklukkan di Bakongan yakni jihad yang dikomandoi Teungku Raja Angkasah. Dalam upaya perburuan Angkasah dan pengikutnya, kesatuan Marsose kehilangan banyak anggotanya.
Teungku Raja Angkasah mulai memimpin perlawanan pada awal tahun 1925. Pasukan yang dipimpinnya berhasil memerangi Marsose. Hampir setiap hari ada satu atau dua serdadu Marsose terbunuh. Kondisi ini membuat militer Belanda gusar, hingga akhirnya memutuskan untuk mendirikan satu markas Marsose di Bakongan. Sebelumnya, markas pasukan khusus itu hanya ada lima di seluruh Aceh, masing-masing Indrapuri (Aceh Besar), Jeuram (Aceh Barat), Tangse (Pidie), Peureulak (Aceh Timur) dan Takengon (Aceh Tengah).
Tapi sayang, perlawanan Teungku Raja Angkasah akhirnya terhenti. Ia gugur tertembak pada pertengahan 1928, di tangan seorang perwira Belanda bernama Kapten Paris. [opie]
edan dw banget tuh orang