Sudah dua minggu blukoh itu tampak sepi, terutama di sore hari. Padahal sebelumnya ini adalah sebuah balai-balai berkonstruksi kayu dan beratap seng dengan luas 7×5 meter dan ketinggian satu meter dari permukaan tanah tempat di mana segenap anak-anak di gampong itu berkumpul.
Di desa dan kota mana pun di zaman ini, meski ruang publik bebas bayaran untuk anak-anak bermain seperti lampoh soh, lampoh u, lampoh raya, lampoh krueng, lampoh tarom dan berbagai istilah tradisional lainnya untuk arena publik desa-kota sudah semakin sempit akibat lajuan berbagai pembangunan infrastruktur, namun masih tidak jarang terlihat anak-anak berkumpul di tempat-tempat seadanya itu yang tujuannya adalah untuk bermain bola, main kelereng, tak-tak galah atau main lompat karet.
Namun masih di zaman yang sama, pemandangan rutinitas anak-anak berkumpul di suatu tempat, baik di ruang publik atau di taman swasta yang tujuannya hanya untuk menonton parade iklan, sinetron anak-anak atau kisah petualangan seekor binatang dalam film kartun di televisi, sudah nyaris tak terlihat lagi di mana-mana. Soalnya meski di pelosok desa sekali pun dan walau dengan kasta ekonomi serendah apapun, orang umumnya sudah punya perangkat informasi audio-visual elektrik itu di rumah masing-masing.
Tapi di Gampong Blang Kumot Tunong, Kecamatan Sakti, Pidie, sesuatu yang sudah tergolong klasik itu masih ada seutuh apa adanya. Anak-anak di sini, lelaki-perempuan, tiap pulang sekolah dan habis pengajian petang , biasanya sore hari, berkumpul di blukoh desa yang letaknya persis di tengah-tengah gampong. Tujuannya, menonton televisi.
Dan itulah pemandangan yang sudah bertahun-tahun terhampar di sana. Tapi kini, sejak dua minggu lalu kesemarakan dunia kebersamaan anak-anak di gampong pedalaman itu sudah sirna. Masalahnya, perangkat televisi hadiah Pemkab Pidie yang sudah berusia empat tahun itu sudah rusak.
“Tak diperbaiki?” Saya menanyakan pada Effendi, 31 tahun, seorang tokoh muda Gampong Blang Kumot Tunong pada Selasa (27/4). “Sejauh ini belum. Rencana akan diperbaiki menjelang pergelaran sepak bola Piala Dunia mendatang ini,” jawabnya
“Jadi selama sepak bola piala dunia belum tiba yang notabene adalah konsumsi penuh orang dewasa, semua anak-anak kampung ini dibiarkan tak menyerap info dunia luar apa pun sehabis mereka pulang sekolah dan pulang mengaji petang hari?” Terhadap pertanyaan ini, Effendi hanya menanggapi dengan senyum terkulum.
Blang Kumot Tunong adalah sebuah kampung paling terpencil di Kecamatan Sakti. Bahkan perangkat televisi itu pun merupakan perangkat informasi elektronik berstatus hadiah Pemerintah Kabupaten Pidie untuk beberapa desa pedalaman yang dianggarkan pemerintah setempat tahun 2006-2007 dengan tujuan program pemerataan informasi di setiap lini wilayah.
Menurut Muhammad Nasir Thaib, 42 tahun, Sekretaris Gampong Blang Kumot Tunong, sebagian anak-anak desa tersebut menonton TV bersama di blukoh itu dikarenakan suka, tapi sebahagian yang lain karena memang tidak memiliki televisi di rumahnya.
Secara umum, aku Muhammad Nasir, penduduk desanya itu masih berada di bawah garis kemiskinan. Mata pencaharian mereka hanya bertani di areal persawahan yang tidak memiliki sistem pengairan.
Walau pun begitu, lanjut Nasir, kendati areal persawahan di desa yang hanya terdiri dari 42 rumah penduduk dengan 53 Kepala Keluarga itu tidak bisa ditanami padi, namun mereka masih punya areal pengembalaan sapi yang luas dan areal pertanian yang tanpa sistem pengairan itu dimanfaatkan sebagai lahan pertanian palawija.
Masalahnya, menurut Nasir, hingga hari ini mereka belum bisa memanfaatkan semaksimal mungkin potensi lahan yang ada karena terkendala dana, perangkat kerja dan penyuluhan. Misalnya seperti obsesi masyarakat di sini pada umumnya terhadap pengembangan peternakan sapi secara profesional, di mana rata-rata mereka terkendala pada ketidakmampuan memperoleh bibit sapi.
“Jika pihak pemerintah perduli, paling kurang, kalau pun kami nanti tidak terlalu kaya, namun mampulah membeli seperangkat televisi untuk rumah kami masing-masing sebagai alat informasi dan pendidikan anak-anak kami,” demikian ujar perangkat kampung yang pada masa konflik Aceh-Jakarta 1998-2004 merupakan kampung paling berat terimbas akses kerawanan karena oleh pihak-pihak tertentu terlanjur disangkut pautkan dengan keberadaan pusara Cut Fathimah (meninggal tahun 1963 dan dimakamkan di pelataran ketinggian sisi selatan Gampong Blang Kumot Tunong), yaitu ibunda tokoh proklamator Gerakan Aceh Merdeka sendiri, Tgk. Muhammad Hasan Di Tiro.
Dan ketika Selasa (27/4) itu sang hari sudah rebah di pangkuan sore di Gampong Blang Kumot Tunong, seorang anak lelaki melintas di depan balai-balai nonton bareng yang kini sudah sunyi. Saat tersebut Saya tergerak bertanya, “Ho ka meujak, Nyak?” Dengan wajah rada sendu dia menjawab, “Hana ta tuho jak lee, hana lee tivi untuk ta neuk nonton, ka rusak.“(*/ha/musmarwan abdullah)
Belum ada komentar