PANAS menyengat begitu terasa, namun keinginan untuk melihat secara jelas tempat peristirahatan orang berpengaruh ini tidak membuat tim dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh ini lengah.

Tim yang dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jamaluddin bersama Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Budaya Evi Mayasari beserta Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Safaruddin menyusuri kaki Gunung Lamsuseng, Desa Lambirah, Sibreh, Rabu (10/2/2021) siang.

Kaki gunung —sebagian orang juga menyebutnya dengan nama Gunung Drien berada dalam gugusan Bukit Barisan, Kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar.

“Banyak informasi yang kita dapat bahwa disana ada makam orang berpengaruh di Aceh pada masanya, akhirnya kita pun menelusurinya langsung,” kata Jamaluddin.

Jamaluddin juga menambahkan, penelusuran makam ini merupakan bagian dari survei cagar budaya yang berada di Kabupaten Aceh Besar.

Keberadaan Sultan Pendiri Kota Banda Aceh

Namanya Sultan Alaiddin Johan Syah (Alauddin Johan Syah) disebut juga dengan sebutan Poteu Uek, yang memerintah sejak tahun 601-631 H atau 1205-1235 M.

Sultan Alaiddin Johan Syah disebut-disebut sebagai pendiri Kota Banda Aceh, makamnya pun hingga kini tidak ditemukan di Kota Banda Aceh.

Di sinoe asai muasai mula jadi Kuta Banda Aceh, tempat geupeudong keurajeuen Aceh Darussalam le Soleutan Johansyah bak uroe phon puasa Ramadhan thon 601 Hijriah (Di sini cikal bakal Kota Banda Aceh, tempat awal mula Kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadhan 601 Hijriah atau 22 April 1205 Masehi).

Sepenggal kalimat di atas akan sangat mudah ditemui saat kita berada diantara pohon-pohon cemara laut yang tidak jauh dari lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gampong Jawa.

Dari kalimat tersebut pula, beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa kontribusi Sultan Alaiddin Johan Syah begitu besar terhadap keberadaan Kota Banda Aceh dan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam.

Singkat cerita, setelah mangkat, Sultan Alaiddin Johan Syah, justru tidak dikuburkan di Banda Aceh. Melainkan di daerah pedalaman Sibreh yang berada di bukit dengan ketinggian 500 mdpl.

Dari sejumlah sumber juga menyebutkan, keberadaan makam Sultan Alaiddin Johan Syah diketahui sejak masa Gubernur Ali Hasjmy dan pada masa Wali Kota Banda Aceh Baharuddin Yahya (1983-1993) pernah berziarah ke makam tersebut.

Pada masa itu, Baharuddin juga pernah menjalin kerjasama dengan Bupati Aceh Besar periode 1988-1993 yang kala itu dijabat oleh almarhum Sanusi Wahab. Keduanya sepakat untuk memugar dan membangun jalan menuju makam Sultan Alaiddin Johan Syah.

Namun, niat kedua orang pimpinan tersebut belum tercapai karena satu dan lain hal, termasuk kondisi Aceh yang mulai bergejolak antara TNI dan GAM.

Di lokasi makam, tidak ada nisan yang terukir layaknya para petinggi pada masa tersebut.

Hanya ada nisan dari batu sungai dan dua makam lainnya yang dikelilingi pohon durian dan semak belukar. Tak jauh dari lokasi makam Sultan Alaiddin Johan Syah juga terdapat makam seorang ulama, masyarakat setempat atau di Sibreh menyebutnya dengan sebutan Tengku Diweu.