Jakarta – Sejumlah narapidana politik yang berkaitan dengan Aceh masih mendekam di Lembaga Permasyarakatan Cipinang Jakarta. Padahal berdasarkan perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, narapidana politik akan diberikan pengampunan oleh pemerintah.

“Tapi saat ini sejumlah narapidana politik belum dibebaskan,” kata kuasa hukum narapidana, Reinhard Parapat, saat bertemu dengan Komisi Hukum DPR di gedung Dewan, Jakarta, Senin, 6 Februari 2012.

Mereka adalah Teuku Ismuhadi, Ibrahim Hasan, dan Irwan. Ketiganya divonis selama 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena terlibat dalam peledakan Bursa Efek Jakarta pada 2000. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, hukuman diperberat menjadi seumur hidup.

Reinhard menyatakan sejak perjanjian damai di Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, Teuku Ismuhadi cs. seharusnya turut dibebaskan. Namun hingga sekarang ketiganya tak juga dibebaskan. “Alasannya, mereka bukan bagian yang harus dibebaskan,” kata Reindhard.

Ketika terbit Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2005 tentang Amnesti Umum, GAM membuat daftar nama yang diajukan untuk dibebaskan. Daftar itu memuat nama Teuku Ismuhadi cs. Tapi dalam proses berikutnya, nama-nama ini tidak menjadi bagian anggota GAM yang dibebaskan.

Dukungan pembebasan ini juga dilakukan oleh Gubernur Aceh melalui surat dengan Nomor 330/2196 tanggal 28 Januari 2008 dan Surat Ketua DPR Aceh Nomor 330/3386 tanggal 21 Juli 2008 tentang pembebasan narapidana politik. “Kami ingin mencari jalan keluar agar klien kami dibebaskan,” ujar dia.

Anggota Komisi Hukum dari Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Kurdi Mukri, menyatakan seharusnya setelah perjanjian damai disepakati persoalan mengenai narapidana politik harus selesai. Namun dia mempertanyakan sikap narapidana terhadap Indonesia. “Apakah sudah mengakui Republik atau gigih dengan GAM,” kata dia.

Ahmad mendukung pembebasan narapidana ini dengan syarat, mau mengakui kedaulatan Indonesia. Jika memang sudah ada pengakuan, dia berharap persoalan ini bisa segera diselesaikan.

Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, Nasir Jamil, menyatakan berjanji mengkaji informasi dengan teliti. Jika memang informasi ini valid, dia berkata, “Kami akan menindaklanjuti ke Kementerian Hukum dan HAM.” (tempo)