Seputaraceh

Ini Uraian Mengapa Penetapan 1 Ramadan Selalu Berbeda

Ini Uraian Mengapa Penetapan 1 Ramadan Selalu Berbeda
Ini Uraian Mengapa Penetapan 1 Ramadan Selalu Berbeda

Semenanjung Arab adalah bentang daratan beralam kejam di siang hari. Tandus dan kering. Namun di malam hari. Arab adalah “surga” bagi para astronom. Langit Arab di malam hari, selalu indah.

Seperti China, sebagai bangsa dan peradaban tua, sastrawan Arab banyak menyanjung langit di malam hari. Malam adalah inspirasi keindahan, sedangkan siang diibaratkan “kekerasan.”

Tak mengherankan jika khasanah intelektual dunia soal astronomi banyak lahir di tanah Arab. Gugusan bintang-bintang banyak lahir dari istilah Arab awal. Rasi bintang Orion awalnya dikenal dengan Al-Jabbar, Taurus (Ath-Thawr), Canis Major (Al-Kalb Al-Akbar), Canis Minor (Al-Kalb Al-Asghar), Leo (Al-Asad), Gemini (At-Tawa’man), Scorpius (Al-‘Aqrab), dan beberapa lainnya.

Inilah yang menjelaskan, kenapa di banyak negara-negara Islam di Semenanjung Arab, seperti Mesir, Syira, atau Yaman dalam memutuskan 1 Ramadan, selalu merujuk ke Arab. Ke Tanah Haram, Mekkah.

Bahkan Malaysia dan Jepang, yang jauh di tenggara Asia, pun senantiasa berkiblat pada penentuan 1 Ramadan atau Syawal di Mekkah. Langit Mekkah dan Jeddah, selalu lebih terang. Rasi bintang di malam hari selalu terlihat lebih jelas.

Dan, memang perbedaan 1 Syawal dan 1 Ramadan hanya soal cara sistem penghitungan belaka, dan kondisi langit atau ufuk saat rukyah hilal.

Ingatkah kita, di Indonesia, hampir 3 dekade di masa pemerintah Soeharto begitu kuat perbedaan “cara” itu nyaris tak pernah ada. Itu karena pemerintah kuat, dan masih punya otoritas dan kepercayaan.

Sementara Indonesia umumnya menentukan sendiri, melalui pertemuan antara pemeritah dan ormas-ormas Islam. Dalam perhitungan 1 Ramadan dan 1 Syawal, ada yang memakai Hisab dengan perhitungan astronomi yang rumit, ada pula yang memakai Ru’yah atau melihat bulan/hilal.

Ada pun yang memakai sistem Hisab berpendapat mereka melihat bulan dengan memakai ilmu kalendering. Inilah yang selama ini jadi rujukan ormas Muhammadiyah.

Dengan rujukan ini, 1 Ramadan 1455, atau di 22 tahun akan datang (tahun 2034) mendatang, sudah bisa diketahui, atau disesuaikan dengan kalender masehi.

Yang kedua, dengan rukyah, jika bulan terlihat, itulah saat mulai berpuasa atau berbuka puasa (Idul Fitri). Inilah yang dipakai oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemenag dan Ormas Nahdlatul Ulama (NU).

Pada Ru’yah lokal, tiap penduduk melihat bulan sendiri-sendiri, sehingga tiap kota atau tiap negara merayakan hari Idul Fitri sendiri-sendiri bisa berbeda satu negara dengan negara yang lain bahkan satu kota dengan kota yang lain.

Ada pun yang memakai Ru’yah Global begitu ada minimal 2 orang saksi yang dipercaya melihat bulan, maka itulah awal Ramadan atau awal Syawal. Rujukan yang terakhir ini biasanya http://moonsighting.com.

Umumnya Tim Ru’yah di Indonesia gagal melihat hilal (bulan muda) bukan karena mereka “bodoh” atau minimnya peralatan. Ini lebih disebabkan karena memang langit lagi berawan, atau banyak partikel cahaya dari bumi. Inilah yang menyebabkan bulan muda sering tertutup awan.

Selain itu, Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia begitu terang oleh cahaya lampu-lampu gedung dan rumah-rumah sehingga langit juga terlihat lebih terang termasuk di Boscha.

Akibatnya sinar-sinar bintang dan bulan terganggu dan terlihat kecil dan redup. Di Arab sebaliknya. Langit tidak berawan. Dengan luas darat yang lebih besar daripada Indonesia (2,4 juta km2) sementara jumlah penduduk cuma 1/5 pulau Jawa, banyak daerah tak bertuan yang tidak berlampu.

Galap gulita. Itulah, kenapa langit dan rasi bintang di Arab pada malam hari selalu lebih indah.

Sehingga langit begitu hitam kelam, sementara bintang-bintang dan bulan jadi tampak lebih besar (sekitar 4-6x lipat daripada di Indonesia) dan lebih terang. Oleh karena itu, Hilal lebih mudah terlihat di sana.

Deputi Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengungkapkan setelah mengamati posisi bulan menyimpulkan jika nantinya akan ada potensi perbedaan dalam penetapan 1 Ramadan.

Dari perjalanan bulan, diketahui bahwa pada maghrib akhir Sya’ban atau 19 Juli 2012 nanti bulan telah wujud atau tampak di Indonesia. Akan tetapi ketinggiannya kurang dari imkan rukyat. Ketentuan Imkan rukyat menggunakan kriteria yang disepakati ketinggian bulan minimal 2 derajat.

Nah, karena pada 19 Juli 2012 bulan sudah wujud tetapi kurang dari 2 derajat, maka pengguna hisab wujudul hilal akan menetapkan awal Ramadan jatuh pada 20 Juli. Pengguna hisab wujudul hilal ini di antaranya adalah Muhammadiyah.

Sedangkan ormas yang menggunakan hisab imkan rukyat akan menetapkan 1 Ramadan pada 21 Juli. Sementara itu, posisi hilal yang rendah tadi (antara 0-2 derajat) tidak mungkin akan berhasil di-rukyat pada 19 Juli.

Maka pengguna rukyat kemungkinan besar menetapkan 1 Ramadan jatuh pada 21 Juli. Pengguna rukyat ini di antaranya adalah pemerintah dan NU (Nahdlatul Ulama). (tribunnews.com)

Belum ada komentar

Berita Terkait

Mutiara Lamteuba

Mutiara Lamteuba