Medan — Setelah Bea Cukai Belawan berhasil mengamankan 77 ekor satwa liar trenggiling untuk dibawa keluar negeri, oleh Besar Konservasi Sumber Daya Alam, trenggiling tersebut dilepas di Sibolangit dan selebihnya dilepas ke penangkaran di Binjai.

Kepala Balai Besar Sumber Daya Alam Provinsi Sumut, Istanto menerangkan bahwa populasi Trenggiling di Sumut saat ini ada lebih 1.000 ekor. Dimana populasi yang terbesar ada di beberapa tempat observasi, seperti Aceh dan Riau. Jika di Indonesia, kata Istanto, jumlahnya mencapai ratusan ribu ekor.

“Paling banyak hewan Trenggiling itu di Kepulauan Karimun, mencapai 40 ribuan. Dan ada juga di Leuser,” katanya.

Disebutkannya, dari sejumlah hewan langka yang ada di Sumut, Trenggiling menjadi satwa yang paling sering diselundupkan. Jalur penyelundupan yang paling sering dipakai yakni, Aceh dan Riau.

“Dari Harimau ataupun Gajah, Trenggiling menjadi hewan yang paling sering diselundupkan. Pintu masuknya dari beberapa wilayah Sumut, seperti Aceh, Riau dan Jambi. Terkadang ada juga yang diselundupkan melalui Sumbar, namun tidak terlalu sering,” jelasnya.

Istanto menyebutkan, selain berkhasiat untuk kosmetik dan bahan baku narkoba jenis sabu-sabu, kenikmatan daging Trenggiling dan nilai jualnya yang tinggi menjadikan Trenggiling kerap diincar dan diselundupkan ke negara luar.

“Sisiknya untuk kosmetik dan bahan sabu-sabu. Kemudian untuk obat-obatan dan dagingnya untuk di sup. Harganya berkisar, kalau per-ekor nya dapat dijual mencapai Rp5 juta di negara luar,” ungkapnya.

Istanto juga menyebutkan, dari pemeriksaan yang dilakukan, para penyelundup mengakui kalau di Medan, pihak penyelundup memiliki pengepul.

“Dari pengepul, kemudian dikuliti lalu dikirim ke Singapura, Cina dan Hongkong. Dagingnya di sup dan sangat diminati di Cina. Pengolahannya kalau tidak di Medan biasanya di Jakarta. Paling sering para penyelundup ditangkap melalui jalur laut,” sebutnya.

Dia menambahkan bahwa para penyelundup kerap memakai jalur laut karena sulit dideteksi. Terkadang, para penyelundup juga menggunakan kapal tongkang.

“Kita berharap para pelaku penyelundupan Trenggiling sadar akan kelakuannya. Trenggiling ini hewan yang dilindungi dan dia merupakan rantai makanan yang sangat penting. Jika Trenggiling menipis, rayap dan semut semakin banyak,” ucapnya.

Dilanjutkannya lagi, di dalam Undang-undang juga sudah diatur hukuman bagi para penyelundup Trenggiling. Yakni, UU No 5 Tahun 1990 tentang Observasi dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan maksimal denda Rp200 juta.

“Kita terus melakukan pengawasan di sejumlah perbatasan. Kita berharap kedepan tidak ada lagi Trenggiling yang diselundupkan demi kelangsungan mata rantai hewan,” ungkapnya. (waspada.co.id)