Terletak di pesisir barat bagian selatan Provinsi Aceh, kota ini memiliki nama resmi Tapaktuan, dengan status Ibukota Kabupaten Aceh Selatan.

Bahwa kota itu dikenal memiliki daya tarik alam yang indah sehingga tak jarang disebut dengan julukan “Arichipelago South of Aceh”, ternyata menyimpan daya tarik lain yang tak kalah menarik untuk diperbincangkan; warga Tapaktuan tak pernah menyebut negerinya Tapaktuan..!

Warga lebih suka menyebutnya Taluak, yang berarti Teluk. Kenyataannya, Tapaktuan memang terletak di pinggiran sebuah teluk indah dengan hamparan laut biru Samudra Indonesia dan bukit hijau yang merupakan lereng pegunungan Bukit Barisan berjajar memagari sisi timur hingga barat kota. Inilah Kota Naga, sebutan lain bagi Tapaktuan dengan mayoritas penduduk berbahasa minang dan dikenal sebagai tempat lahirnya legenda Putri Naga.

Teluk dengan pantai indah yang terdapat di sepanjang garis pesisir boleh jadi merupakan ikon Tapaktuan yang dalam konteks simbolis dijuluki “Archipelago In South Aceh”, seperti sering meluncur dari mulut pelancong mancanegara maupun pelancong domestik sebagai ungkapan rasa kagum mereka terhadap keindahan alam di sana.

Akan tetapi bagi warga kota, keindahan itu agaknya tak cukup sebatas dinikmati, tapi akan terasa lebih indah dan akrab apabila disebutkan langsung dalam julukan lain yang khas dan hanya dikenal di kalangan warga kota, yaitu Taluak.

Kecenderungan itu sudah berkembang sejak lama yang konon bermula dari penamaan yang diberikan oleh para pedagang dan pelaut dari Sumatera Barat yang menjadikan Tapaktuan sebagai tempat persinggahan dalam pelayaran niaga pada abad-abad lalu.

Alkisah, tadinya landscape berupa hamparan di celah bukit-bukit itu masih berupa hutan belantara tanpa penghuni. Dijadikan tempat persinggahan karena keadaan laut yang terlindung di lekukan teluk cukup aman sebagai tempat berlabuh. “Pagar” bukit yang melengkung dengan dua ujung menjorok ke laut menjadi benteng penghambat terjangan badai Samudra Indonesia yang menyebabkan permukaan air teluk senantiasa tenang.

Ada beberapa sungai yang muncul dari celah bukit dan mengalir dengan air bening mempertegas alasan kawasan itu dijadikan tempat persinggahan bagi para pelaut sekalian sebagai sumber memenuhi cadangan air selama di dalam pelayaran. Para “pionir” itu pun menjadi terbiasa menyebut tempat itu Taluak.

Tapak

Bahwa kemudian negeri itu diberi nama Tapaktuan, menurut keterangan hal itu mengacu pada sebuah legenda terkenal dengan tokoh seorang pertapa, disebut sebagai Tuan Pertapa yang berhasil mengalahkan seekor naga dalam memperebutkan seorang putri. Dalam pertempuran dahsyat itu, sang tuan, yang konon memiliki tubuh setinggi 20 meter sempat meninggalkan bekas telapak kaki tempat dia bertumpu di hamparan batu.

Bekas telapak kaki itu hingga kini masih bisa disaksikan dalam sosok kolam berbentuk telapak kaki raksasa dengan panjang sekitar 5 meter terdapat di ujung sebuah bukit yang menjulang di bagian barat kota. Itu lah jejak telapak kaki sang Tuan Pertapa yang selanjutnya ditabalkan menjadi nama kota, yaitu Tapaktuan.

Meskipun begitu, warga kota tidak pernah menyebut negerinya Tapaktuan, setidaknya dalam berkomunikasi antara sesama warga tetap saja menyebut negerinya Taluak. Kecuali itu, Tapaktuan hanya ada di dalam nomenklatur resmi maupun merek-merek toko, sekolah dan sebagainya. Begitu juga di dalam surat menyurat. Selebihnya, Anda tak bakalan pernah mendengar sebutan Tapaktuan dalam pembicaraan-pembicaraan di antara sesama warga.

Dan kebiasaan ini juga terpelihara utuh di antara sesama warga Tapaktuan yang berada di perantauan, tercermin dari ungkapan-ungkapan seperti berikut; pabilo pulang kataluak yang artinya, “kapan pulang ke Tapaktuan”. Atau, ba’a kaba di Taluak (bagaimana kabar/keadaan di Tapaktuan). Sangat tidak pernah mereka mengucapkan, pabilo pulang ka Tapaktuan, atau, Ba’a kaba di Tapaktuan. Atau begini: Alah bapuluah tahun ambo dirantau urang, taragak bana rasonyo nandak pulang ka Taluak (Sudah puluhan tahun saya dirantau orang, rindu juga rasanya mau pulang ke Tapaktuan).

Di rantau maupun di Tapaktuan sendiri, sama saja, dalam percakapan sesama warga Tapaktuan tetap saja disebut Taluak, semisal ungkapan berikut: Di Taluak ko harago dagiang maha bana, hampia duo kali lipek hago di Malabua. Artinya, di Tapaktuan harga daging terlalu mahal, hampir dua kali lipat harga di Meulaboh (Ibukota Kabupaten Aceh Barat, tetangga Aceh Selatan-pen).

Di Taluak ko sagalonyo didatangkan dari Medan, sajak talua ayam sampai lado gadang jo sapu ijuak. Artinya, Di Tapaktuan ini segalanya harus didatangkan dari Medan Sumatera Utara, mulai telur ayam hingga cabe merah dan sapu ijuk. Menurut penulis, ungkapan tersebut sebetulnya bukan hanya untuk Tapaktuan, tapi merupakan gambaran umum situasi di Aceh Selatan, bawa sapu lidi juga saat ini dipasok dari luar daerah hingga beras makan.

Sebagai catatan, Naga juga merupakan ikon lain Tapaktuan dengan background legenda perang naga versus tuan pertapa. Maka jangan heran Tapaktuan mendapat julukan lain: Kota Naga. Sebuah lapangan sepak bola yang ada di lereng bukit hanya belasan meter dari bibir pantai juga diberina nama Lapangan Naga. Dan ada juga gunung yang namanya Alur Naga di jalan lintas Aceh-Sumut yang tak pernah selesai dibangun dalam hitungan kedalaman dekade meskipun miliaran dana telah dicurahkan.

Tidak diketahui persis kapan Tapaktuan ditabalkan secara resmi sebagai nama kota. Menurut keterangan, sejak Belanda pertama kali menginjakkan kaki di sana pada 1874, kota itu memang sudah bernama Tapaktuan. Terbukti pula, di awal dekade 1920-an, sebuah pabrik penyulingan minyak nilam yang dianggap paling modern dan terbesar di Pulau Sumatera pada zaman itu, mencantumkan Tapaktuan pada nomenklatur pabri, yaitu Aeterichsche Olien PSabriek Tapa’Toean.

Kampuang Tacinto

Selain dikenal dengan keindahan alamnya, Tapaktuan juga menyimpan sejumlah catatan menarik di masa lalu. Salah satunya, tersebutlah Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta berkunjung ke Tapaktuan pada 1956. Dalam kunjungan tersebut, Bung Hatta berkesempatan plesir ke Gunung Pintu Angin di dekat Gampong Lhok Rukam sekitar 7 km di arah timur pusat kota.

Di puncak gunung itu lah, ketika menyapu pandang ke arah pusat kota, Hatta tak habis-habisnya memuji keindahan panorama kota. Sampai-sampai di puncak gunung itu dia mendirikan sebuah bungalow peristirahatan. Sejak itu, gunung Pintu Angin mendapat nama lain Gunung Panorama Hatta. Nama Panorama Hatta hingga kini lebih populer ketimbang Pintu Angin kendatipun sosok bangunan itu sudah berganti bangunan baru.

Di samping meninggalkan monumen berupa bungalow di puncak Pintu Angin, dalam kunjungan lebih setengah abad yang lalu itu, menurut keterangan Bung Hatta pernah membuat kesan lain yang sempat menjadi pembicaraan menarik bagi warga kota kala itu. Menginap di pendopo kabupaten (di depan Polsek Kota), pada suatu pagi Bung Hatta tiba menghilang.

Menurut keterangan, peristiwa ini sempat membuat sibuk anggota rombongan maupun tuan rumah sebelum diketahui kemudian tokoh yang dikenal sebagai Bapak Koperasi itu ternyata sedang asik-asiknya berjalan-jalan di pinggir pantai yang berjarak sekitar 50 meter di depan pendopo. Konon Hatta sangat terkesan dengan keindahan pantai dan udara pagi yang nyaman.

Dituturkan, berjalan di sepanjang tepi pantai, orang besar Tanah Air itu membiarkan saja kakinya dibelai-belai percikan air laut yang pecah berderai di haribaan hamparan pasir sembari berdialog dengan para nelayan yang menjala ikan maupun memancing di pagi indah itu.

Sejumlah keterangan menyebutkan, dalam dialog tersebut ia sempat memuji keindahan alam dalam bahasa penduduk setempat yang adalah juga bahasa minang. Dikatakan, rancak bana nagari ko yang artinya adalah, alam di sini sangat indah.

Ya, Tapaktuan memang rancak dan pengakuan almarhum Bung Hatta pada setengah abad yang lalu itu tentunya bukan ucapan promosi. Terbukti kemudian, ungkapan-ungkapan senada meluncur pula dari mulut mereka yang berkesempatan datang ke negeri paling barat di tanah air itu.

Bahwa, “bukan hanya Pulau Bali, tapi bagi kami di sini juga surga,” kata pasangan turis asal Nuerenberg Jerman, Owen dan Elke, adalah sebuah contoh ungkapan-ungkapan senada yang bermakna Tapaktuan adalah “Archipelago South of Aceh” dengan gunung, sungai dan laut, plus semilir angin Samudera Indonesia merupakan bagian integral yang membentuk sosoknya. Lalu, seperti juga Anda dengan kampung halaman sendiri, bagi warga Tapaktuan, Taluak adalah kampung tacinto..! (Muhammad Ali/Analisadaily)