SELAIN disambut dengan kemeriahan tahun baru, 1 Januari juga menjadi tanggal yang meninggalkan banyak kisah dan sejarah di Aceh.

Selain kisah perlawanan melawan penjajahan Belanda, ada beberapa kisah menarik yang belum ramai kita dapatkan literaturnya, termasuk salah satu perjanjian pihak Kolonial Belanda dengan masyarakat Aceh dalam rangka menyelamatkan hutan Leuser atau yang saat ini dikenal dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Aceh Tenggara.

Inilah beberapa kisah sejarah yang berhasil kami rangkum dari berbagai sumber, sebagai bagian untuk mengingatkan sejarah yang terjadi pada 1 Januari di tanoh Serambi Mekkah.

Pendirian Rumah Rungko

Rungko adalah sebutan lain dari rumah Adat Kluet yang terletak di Desa Koto, Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.

Rumah adat yang sekilas mirip dengan rumah Aceh dipesisir timur ini didirikan pada tanggal 1 Januari 1861 Masehi oleh Raja Menggamat.

Adapun raja Manggamat pada waktu itu bernama Imam Hasbiyallah Muhammad Teuku Nyak Kuto, beliau juga salah satu keturunan dari pejuang Kluet, Tengku Imam Sabil yang tercatat sebagai seorang pejuang perang saat melawan Belanda dalam Perang Lawe Melang Menggamat.

Rumah Rungko yang berbentuk panggung ini selain menjadi kediaman raja pada waktu itu juga digunakan sebagai tempat memutuskan perkara dan musyawarah jika terjadi perselisihan dan sengketa dalam kehidupan masyarakat Menggamat.

Kini, untuk menemukan Rungko di Kluet tidak semudah dulu lagi, hanya ada beberapa yang tertinggal dan itupun sudah mulai tidak terawat lagi.

Serangan ke Lueng Bata

Kecamata Lueng Bata, Kota Banda Aceh dikenal memiliki sederet sejarah perjuangan dan ulama pada masa penjajahan Belanda, bahkan Sultan sempat diungsikan dari Keraton pada waktu serangan Belanda menempur pasukan Aceh di Masjid Raya Baiturrahman.

Tanggal 1 Januari 1875, disinilah sejarah itu berawal saat pasukan marsose Belanda yang di bawah komando Wilhelmus van Nassauwe, anak buah dari pimpinan Kolonel Pel menyusun strategi untuk menggempur pejuang Aceh di bawah pimpinan Tgk Imum Lueng Bata, dan sahabatnya Panglima Polem serta Tuanku Hasyim yang ingin menguasai semua daerah di Kutaraja untuk diduduki oleh Belanda.

Lebih kurang 1000 orang pasukan Belanda sejak pagi buta sudah berangkat dari Keraton ke arah Lueng Bata, sedang sebagian lainnya berangkat pantai Ulee Lheue dengan tujuan akhir akan menyerang Lueng Bata secara bersamaan.

Namun, naas menimpa pasukan Belanda disepanjang perjalanan mereka telah dihadang oleh beberapa pejuang Aceh yang berani mati dengan menggunakan kelewang dan bambu runcing membunuh setiap pasukan yang dapat mereka bunuh.

Disaat hampir tiba sore hari, komandan Wilhelmus van Nassauwe akhirnya membunyikan terompet yang dianggap oleh pasukan Belanda lainnya sebagai pertanda mereka sudah sampai ke tujuan (Lueng Bata, -red). Sayangnya, isyarat tersebut menandakan pasukan mereka tengah digempur oleh pejuang Aceh yang mengakibatkan semua pasukan cedera dan terpaksa harus kembali ke keraton dalam keadaan sangat parah.

Bantuan pasukan dari keraton pun tidak diijinkan untuk melanjutkan perang, karena memprioritaskan kepulangan pasukan yang cedera. Penyerangan 1 Januari 1875 akhirnya gagal, dan Kolonel Pel pun mengalami kekalahan pertamanya.

Wafatnya Tgk Chik di Tiro

Nama aslinya adalah Muhammad Saman, namun beliau lebih dikenal dengan nama Tengku Cik Di Tiro atau sering disebut Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman, lahir 1836 Cumbok Lamlo, Tiro, Kabupaten Pidie. Beliau adalah seorang ulama dan juga pejuang Aceh yang memimpin rakyatnya untuk melawan Belanda.

Tgk Chik di Tiro memilik pasukan perang sabi, di bawah kepemimpinannya ini membuat Belanda mengalami banyak kesulitan saat ingin menduduki Aceh Besar.

Untuk menghentikan perjuangan Tgk Chik di Tiro, akhir Belanda mengirimkan seorang wanita dengan menghidangkan makanan yang telah diberikan racun. Akhirnya, beliau wafat di benteng Aneuk Galong, Aceh Besar pada tanggal 1 Januari 1891 dan dimakamkan di Indrapuri.

Hari itu, menjadi waktu yang berduka bagi pasukannya. Walaupun demikian, perjuangan perang rakyat Aceh sepeninggalan beliau tidak pernah surut dan terus dilanjutkan oleh keturunannya hingga seluruh anak beliau wafat.

Kegigihan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro dalam membela bangsa Indonesia membuat pemerintah RI mengangkat beliau sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan pada tanggal 6 Nopember 1973 sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/Tahun 1973.

Teuku Johan Pahlawan

Teuku Umar, yang merupakan suami Cut Nyak Dhien juga memiliki sejarah sendiri pada tanggal 1 Januari 1894.

Pada waktu itu Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland oleh Belanda, tidak hanya itu pihak Belanda juga memberikan bantuan pasukan (legium) sebanyak 250 orang dengan senjatan lengkap dan dana untuk Teuku Umar memperkuat pasukannya.

Justu istrinya, Cut Nyak Dhien sempat bingung dengan pemberian gelar dari Belanda ini karena dinilai telah tunduk kepada penjajah, sehingga kerap membuat pahlawan wanita ini tidak menerima apa yang diberikan oleh Belanda kepada suaminya tersebut.

Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.

Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan.

Deklarasi Tapaktuan

Pada tahun 1920-an Pemerintah Kolonial Belanda memberikan ijin kepada seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk meneliti dan mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di Aceh. Setelah melakukan penelitian tersebut, Van Heurn menyatakan bahwa kawasan yang diteliti tidak ditemukan kandungan mineral yang besar dan menyatakan bahwa pemuka-pemuka adat setempat menginginkan agar mereka peduli terhadap barisan-barisan pegunungan berhutan lebat yang ada di Gunung Leuser.

Sebagai gantinya, Van Heurn mendiskusikan hasil pertemuannya dan menawarkan kepada para wakil pemuka adat (para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (Wildlife Sanctuary).

Setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Pemerintah Kolonial Belanda yang mengusulkan Suaka Alam di Aceh Barat seluas 928.000 ha dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh di bagian utara.

Proposal tersebut akhirnya direalisasikan dengan pada tanggal 6 Februari 1934 dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan, yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan Pemerintah Kolonial Belanda.

Pertemuan tersebut menghasilkan “Deklarasi Tapaktuan”, yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh pada saat itu (Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, Vaardezen). Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1934 (Deze regeling treedt in werking met ingang 1 Januari 1934).

Deklarasi tersebut mencerminkan tekad masyarakat Aceh untuk melestarian kawasan Leuser untuk selamanya sekaligus juga diatur tentang sanksi pidananya — baik padana penjara maupun pidanya denda.

Dalam salah satu paragraph Deklarasi Tapaktuan disebutkan sebagai berikut:

“Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nas, Meuke’, labuhan Hadji, Manggeng, Lho’ Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis benda dan segala padang-padang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep, menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang”.

Hingga saat ini gunung Leuser disebut sebagai wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang terbagi dalam 4 seksi wilayah dan mengikuti struktur organisasi taman nasional tipe A, yaitu di Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Langkat Sikundur, dan Langkat Selatan. Khusus wilayah Aceh Tenggara dengan didasarkan oleh karakteristik suku, dibagi lagi menjadi 2 wilayah koordinasi yaitu wilayah Gayo Lues di Blangkejeren dan wilayah Lembah Alas di Kutacane.

Itulah sederetan sejarah masa lampau di Aceh yang bertepatan pada tangga 1 Januari, awal tahun baru.[]