Antara Meureudu dan Simeulue terbentang jalan panjang yang berliku-liku di sela-sela dataran, gunung dan lembah. Itu belum lagi sebagian tepi Samudera yang harus diarungi selama delapan jam perjalanan feri.

Jauh memang apabila dua unsur perantara ini dibentangkan hanya dalam sebatas fantasi. Seakan warga yang dari wilayah Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya harus mengorbankan waktu berhari-hari untuk mencapai Kabupaten kepulauan Simeulue.

Padahal ruang pemisah yang dalam kesan khayali serasa teramat jauh ini, ketika dirambati dengan langkah-langkah nyata bersama kehadiran badani, hanya dalam satu hari tempuhan dengan sepeda motor atau mobil berkecepatan rata-rata 70 kilometer per jam, sang khafilah akan tiba di pelabuhan feri Labuhanhaji, Aceh Selatan.

Labuhanhaji adalah batas akhir perjalanan darat sebelum sang pendatang menaiki feri untuk menempuh lagi sekira delapan jam perjalanan laut pada malam hari hingga mencapai pulau Simeulue pada subuh keesokannya.

Perjalanan penulis pada akhir Maret lalu seakan membuktikan, apabila warga Pidie dan Pidie Jaya, karena sesuatu dan lain hal atau hanya sekedar hendak berdarmawisata suatu hari ke pulau Simeulue, adalah teramat simpel, mudah dan tak banyak mengorbankan waktu dalam perjalanan. Biaya pun tak perlu terlalu tinggi. Di Simeulue, semua barang senilai harga-harga barang di daratan Aceh umumnya.

Perjalanan dimulai pada pagi hari ketika Kota Beureunuen sudah amat sibuk dengan aktivitas pasarnya. Meninggalkan kota kecil Lamlo pada sekira pukul sembilan pagi, sepeda motor yang saya tumpangi bersama seorang kawan jurnalis dari Banda Aceh, kami tiba di Tangse pukul sebelas.

Setelah ngopi sejenak di keudee Tangse, perjalanan kami teruskan. Lantas Manee, Geumpang dan liukan naik-turun lapisan beraspal bagus di antara lembah dan ngarai yang menuju ke lembah Kubu Aneuk Manyak, kami tinggalkan dalam sekali putaran roda hingga shalat dzhuhur dan makan siang dengan nasi berteman ikan keureulieng asam keu’eueng, kami tunaikan di Tutut, Aceh Barat. Dan Kota Meulaboh yang sore itu berudara sangat cerah kami masuki pada pukul lima.

Karena beberapa pesan pendek yang sempat kami kirimkan sepanjang perjalanan dari Tutut dan Panton Rheu, enam rekan jurnalis Meulaboh dari berbagai media cetak dan elektronik telah menunggu kami di sebuah warung kopi yang nyaman di pinggiran Kota Meulaboh. Dan di sela-sela percakapan kami yang ramai, seorang rekan jurnalis segera menghubungi seseorang di Labuhanhaji, menanyakan jadwal feri yang akan berangkat ke Simeulue.

Ternyata kami datang bertepatan dengan jadwal feri yang pergi-pulang ke Simeulue hanya tiga kali dalam seminggu. Termasuk Selasa malam, tepat saat kami sudah bercita-cita hendak menyeberang ke pulau itu.

Menjelang pukul enam, sembari membelakangi semua tawaran kawan-kawan untuk menginap satu malam di Kota Tasawuf Meulaboh, kami menuju Labuhanhaji dengan kecepatan antara 70 hingga 100 kilometer per jam. Agak tergesa-gesa memang mengingat tadi kami terlalu membiarkan waktu terhambur dalam percakapan yang mengasyikkan dengan para rekan jurnalis.

Sekira pukul sembilan malam, setelah sejenak melepas kepenatan sambil minum kopi di sebuah warung di pinggiran Kota Blang Pidie, maka Kota Labuhanhaji kami tapaki persis pada pukul sepuluh malam. Kami segera ke pelabuhan untuk membeli tiket.

Alhamdulillah, rupanya kami tak perlu tergesa-gesa untuk segera naik ke kapal, karena seperti biasanya, kalau pada Selasa malam, kapal baru berangkat pukul sebelas malam. Jadi kami masih sempat menikmati keramaian pelabuhan dan segelas kopi tubruk di sebuah warung sederhana berdinding tepas di atas tembok penahan abrasi di pinggiran dermaga.

Saat kapal berangkat, cuaca cerah dan laut tenang sehingga banyak penumpang yang menikmati perjalanan sembari duduk-ngobrol berkelompok atau tiduran di lantai geladak yang langsung beratap langit. Baru ketika tiba tengah malam dan kapal sudah berada di tengah laut badai menerpa dan hujan turun sangat deras. Tak ada jalan lain, semua harus turun ke lantai dua untuk berlindung dari terpaan hujan dan badai yang ternyata hanya berlangsung tak sampai satu jam.

Usai subuh dan hamparan laut mulai dapat ditatapi dalam sisa temaram, feri memasuki Teluk Sinabang dan lambat-lambat merapat ke dermaga. Turun dari feri dan sembari melangkahi tanah di seputar areal pelabuhan, dalam hati saya berucap, “Alhamdulillah, ini untuk pertama sekali dalam hidup saya dan kawan saya menapaki tanah pulau Simeulue.” Kedatangan kami di sini adalah atas undangan Panitia Festival Nandong Akbar (Kedang Safano), sebuah seni bersyair tradisi Simeulue.

Tiga hari di Simeulue adalah terlalu singkat untuk menjamah habis setiap sudut pulau yang panjangnya 102 kilometer dan lebar 28-40 kilometer yang terletak di tepi hamparan Samudera Hindia dengan jumlah penduduk delapan puluh ribu jiwa ini.

Namun sebagian kecil pulau itu, ditemani seorang kawan jurnalis setempat, sempat kami jelajahi. Di sinilah saya menatap sebagian pinggiran daratan ini yang berbatasan langsung dengan laut biru Samudera, Simeulue bagai sebuah surga kepulauan yang keindahannya tiada bandingan.

Dibandingkan dengan Pidie dan Pidie Jaya yang di sebelah sisi utaranya hanya berbatasan dengan Selat Malaka dengan tipe pantai landai tanpa karang serta gelombangnya yang kecil-kecil tanpa buih-buih pecahan ombak yang beterbangan, maka sekali dalam hidup kami di Meureudu atau Sigli sungguh layak jika di suatu kesempatan kelak atau hari ini kami mewajibkan diri untuk hadir dan mencerap aura rahmat Allah dalam wujud alam kepulauan di tengah tarian samudera yang gemulai seirama alunan bayu yang menerpa bukit berpohon cengkeh di pulau Simeulue.

Lagi pula di pulau ini banyak warga Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya, baik yang merantau sebagai pedagang, pegawai rumah sakit umum, pegawai di jajaran pemerintahan kabupaten atau yang berprofesi sebagai petani atau nelayan karena sudah kawin dengan penduduk setempat, yang bisa dijadikan sebagai penawar dari rasa keterasingan di detik-detik saat sang pendatang dirundung kesepian karena merasa terhempas di keterasingan tanah pulau.

Di Simeulue, segala alam yang indah, alangkah indahnya. Ada pulau karang di tengah biru laut yang dapat ditatap dengan mata telanjang. Jalanan beraspal halus yang meliuk-liuk di tepi bukit bagai ular raksasa tengah melata. Ada muara kecil yang pandangannya tembus ke laut melalui celah-celah pohon nyiur yang beberapa di antaranya malah tumbuh melengkung bagai hendak becermin di atas kejernihan mulut kuala. Dan lebih dari itu, gunung dan bukit-bukit di Pulau Simeulue, masih utuh dengan naungan pohon-pohon besar bagaikan payung-payung raksasa yang menghijaukan segenap pulau ini.

Ya, di Simeulue, pohon-pohon besar yang menjulangi gunung, belum dicukur habis. Dan begitulah di pulau ini, segala wujud alam yang indah, di sini begitu indahnya. Memberikan pencerahan bagi jiwa yang sempat menatap ia. Meski hanya sekali dalam hidupnya. Simeulue, Subhanallah. Indahmu tiada bertara. Di Meureudu dan Sigli, kami hanya memiliki Selat Malaka.(*/ha/musmarwan abdullah)