Dua pahlawan nasional yang dikenal gigih melawan Penjajah Belanda, Teuku Chik Di Tiro dan Teuku Hasan Di Tiro, namanya terukir pada batu nisan di Desa Meureu, Indrapuri, Aceh Besar.

Kedua jasad mereka terkubur di makam yang dikelilingi batu marmer merah dan pernah menjadi tempat pesta ulang tahun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Desember setahun lalu.

Lebih dari satu kilometer sebelah barat keduanya tumbuhlah tanaman ganja dengan ketinggian mulai 1,5 hingga tiga meter. Tanaman bernama latin cannabis sativa itu berjejer rapih diatas lahan sekitar tiga hektar. Pinggiran kebun tersebut dijaga kawat berduri. Letaknya sekitar 50 meter dari jalan yang dilewati manusia. Dari lahan datar, seseorang harus berjalan menurun dan melewati kali dengan air jernih yang menampakkan dasar bebatuan.

[pullquote_left]”Saya pernah mengusulkan agar tanah bekas ladang ganja ditanami buah naga”[/pullquote_left]

Di pinggiran sungai itu terdapat sebuah selang plastik dengan diameter sekitar 15 sentimeter memanjang hingga seratus meter. “Selang ini biasa dihubungkan dengan diesel kecil untuk mengalirkan air ke ladang ganja disana,” jelas Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN), Brigjen Benny Jozua Mamoto, kepada Republika Jumat (20/7).

Ladang ganja tersebut dinilainya jauh dari jangkauan masyarakat umum, karena sengaja ditanam di tempat terpencil. Jarak ladang tersebut dari jalan utama, yaitu Jl Raya Aceh-Medan, sekitar lima kilometer. Dari Banda Aceh menuju ladang tersebut membutuhkan waktu tempuh sekitar 60 menit. Jarak tempuh sekitar 50-60 kilometer.

Itu bukan satu-satunya ladang ganja yang ditemukan aparat gabungan BNN dan Polda Aceh. Mereka juga menemukan ladang ganja seluas delapan hektar di sekitar wilayah Lampeuna seluas delapan hektar. Yang terluas berada di Lamteuba mencapai 13 hektar. “Total semuanya sekitar 24 hektar,” papar Benny.

Rata-rata satu hektar berisi 10.000 pohon ganja. Diprediksi, tiga ladang ganja ini mampu memproduksi 240 ribu batang tanaman ganja. Setiap satu hektar menghasilkan 1.500 Kg Ganja Kering. Semua ladang ganja ini diperkirakan menghasilkan 36 ton ganja kualitas satu sekali panen.

Benny menyatakan ladang ganja tersebut sangat terurus. Tanaman tersebut diberi pupuk, kemudian dialirkan air. Kondisi berbeda dinilainya terjadi di daerah penghasil ganja lainnya, seperti Mandailing Natal. Ganja di Kabupaten Sumatra Utara itu ditanam diatas Bukit Sihite yang jalurnya sulit dilewati. Ganja disana ditanam secara liar, tanpa diberikan pupuk maupun dialirkan air.

Dari asumsi harga, satu kilogram ganja kering di Jakarta dijual Rp 2,5 juta. Diperkirakan ladang tersebut mampu menghasilkan uang hingga Rp 80 miliar sekali panen.

***

Penemuan tiga ladang ganja di Aceh bermula dari kegelisahan aparat terhadap banyaknya ganja yang lolos dari pemantauan. Data Pusat Penelitian Kesehatan (Puslitkes) Universitas Indonesia dan BNN menjelaskan Ganja yang tidak berhasil disita mencapai 241,8 ton pada 2011. Estimasi kebutuhan pasar ketika itu mencapai 487 ton. Ganja yang disita berjumlah 245,2 ton.

BNN kemudian menindaklanjuti hal itu dengan melakukan penyelidikan. Tim yang dipimpin oleh Direktur Tindak Kejar BNN, Komisaris Besar Jan de Fretes, diterjunkan ke lapangan bersama Aparat Polda Aceh. Mereka semua bekerjasama dengan masyarakat sekitar.

Aparat gabungan menyisir satu per satu ladang ganja di Indrapuri, Lamteuba, dan Lampeuna. Saat berjalan secara diam-diam ke ladang di Lampeuna seluas delapan hektar, aparat menyaksikan si pemilik ladang, Sayuti (38), sedang melihat-lihat ladang tersebut bersama seorang anak buahnya.

Personel gabungan menundukkan badan. Mereka berjalan dibawah tanaman ganja yang menutupi tinggi badan mereka. Sayuti tiba-tiba memalingkan wajahnya ke sebuah deretan tanaman ganja yang terlihat bergerak-gerak. Dia melihat ada kepala seseorang di balik tanaman tersebut. Dia langsung berlari bersama anak buahnya.

“Kita kejar keduanya. Sayuti kita tangkap. Satu lagi menghilang,” jelas Direktur Narkoba Polda Aceh, Komisaris Besar Dedy Setyo Yudho, saat dihubungi, Jumat (20/7). Sehari-hari dia mengaku bekerja sebagai petani hutan. Pekerjaan tersebut dinilainya kurang menghasilkan sehingga dia nekat menanam ganja. Sayuti kini mendekam di tahanan Direktorat Narkoba Polda Aceh.

Dedi menjelaskan tersangka menanam ganja di kawasan hutan lindung. Sayuti dinilainya menanam ganja disana dengan cara membabat ilalang di kawasan hutan lindung. Kemudian menggantinya dengan tanaman ganja. Ladang milik Sayuti ini dinilainya paling aman, karena tidak terpantau dari udara. “Terhalang pepohonan rindang,” jelasnya.

Dedy menjelaskan Sayuti tidak mengakui dirinya sebagai pemilik ladang ganja. “Dia terus membantah meskipun sudah kita konfrontir,” jelasnya. Penyidik sudah menunjukkan keterangan saksi yang menyatakan Sayuti pemilik ladang itu, namun tetap saja dibantah. Bantahan itu, dinilai Dedy tidak akan menghalangi proses penyidikan.

***

Bukan pertama kali ladang ganja ditemukan di Aceh. Awal Desember setahun lalu, sejumlah 155,8 hektar ladang ganja ditemukan aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polda Aceh, di Kabupaten Aceh Besar daerah Indrapuri, Aceh Utara, Gayo Lues, dan Biruen. Masing-masing memiliki luas beragam dan tersebar di beberapa titik.

Dari lokasi kejadian, Aparat menemukan barang bukti antara lain satu buah alat pres cetakan terbuat dari besi, timbangan, dongkrak, tempat penyulingan, sepeda motor dan dua karung biji ganja yang jika ditanam, diperkirakan bisa tumbuh sebanyak puluhan ribu pohon.

Semua ladang ganja ini diperkirakan menghasilkan 222,571 ton ganja kualitas satu. Dari asumsi harga, satu kilogram ganja kering di Jakarta dijual RP 2,5 juta. Ladang ganja tersebut mampu menghasilkan uang hingga Rp 556.427.500.000. Ganja dari lokasi kejadian diperkirakan mampu dikonsumsi 44, 5 juta orang.

Temuan ini adalah yang terbesar di tingkat internasional pada 2011. Kantor Berita AP Juli 2011 merilis laporan terkait temuan ladang ganja terluas di Meksiko, 120 hektar, sebelah selatan Kota Tijuana, melewati Perbatasan San Diego. Ladang ganja di Meksiko itu diprediksi jauh lebih besar dibanding yang pernah ditemukan sebelumnya di Utara Negara Bagian Chihuahua pada 1984.

Kapolda Aceh, Inspektur Jenderal Iskandar Hasan, saat dihubungi, menyatakan ada saja Masyarakat Aceh yang dimanfaatkan untuk menanam ganja. “Mereka ini petani yang menjual ganjanya ke Medan, Sumatra Utara,” jelasnya. Dari Medan, ganja kemudian dikirimkan ke sejumlah daerah di Indonesia dengan harga berbeda-beda.

Pihaknya mengaku tidak berhenti mengimbau Masyarakat Aceh untuk tidak lagi menanam ganja. Instruksi kepada setiap Kapolres di wilayah hukumnya sudah disampaikan, bahwa siapapun yang terbukti menanam ganja akan ditindak tegas. “Kita juga sosialisasikan UU Narkotika dan Psikotropika nomor 35/2009,” imbuhnya.

Selain itu, pihaknya juga mengusulkan agar masyarakat diberikan alternatif tanaman agar tidak lagi menanam ganja. “Saya pernah mengusulkan agar tanah bekas ladang ganja ditanami buah naga,” imbuhnya. Tanaman ini dinilai cocok, karena dapat berbuah dalam sembilan bulan sejak ditanam.

Tanaman ini juga cocok bagi kondisi Aceh yang panas. Iskandar menyatakan kalau sudah panen, buah naga dapat menghasilkan uang cukup besar. “Hasilnya lebih memuaskan daripada menanam ganja,” sergahnya. (republika.co.id)