Banda Aceh — Aceh merupakan salah satu propinsi sentra penghasil bahan mentah atau bahan baku rotan terbesar di Indonesia.

Ketua Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) Aceh, Razali Idris, mengatakan, sesuai dengan Kebijakan Industri Nasional yang dituangkan dalam peraturan Presiden (Perpres) No 28 Tahun 2008 dan konsep Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Rotan Nasional (Depperin), Aceh ditetapkan sebagai salah satu pusat/kluster industri pengolahan rotan.

Sebagai perwujudan awal telah ditetapkan dan dibangun pabrik industri pengolahan rotan untuk Indonesia bahagian barat di Desa Bambi, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

“Pabrik itu dibangun di atas lahan seluas 3.000 m2 yang didanai atau difasilitasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pidie, seperti pengadaan lahan. Sementara yang membangun konstruksi Pemkab Aceh dengan pengadaan peralatan atau mesin oleh pemerintah pusat melalui Depperin,” jelas Razali kepada MedanBisnis, Minggu (9/09).

Menurut Razali, untuk menjalankan operasional pabrik rotan, oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Perindustrian disediakan dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan besar nasional. Dana tersebut untuk mengembangkan industri rotan dalan negeri pascapelarangan ekspor bahan baku mentah rotan atau rotan golondongan. Jika bahan baku rotan tersebut tidak bisa lagi diekspor, maka harus terserap untuk dalam negeri.

Dan untuk menyelamatkan petani pengumpul rotan dan pengusaha bahan baku rotan, maka pemerintah mengambil kebijakan agar pengusaha industri rotan dapat membuat rotan yang lebih simpel seperti bangku dan meja untuk sekolah dasar, SMP maupun hotel.

“Memang rotan tidak boleh lagi diekspor, tapi pemerintah meminta supaya sekolah-sekolah dan hotel–hotel memanfaatkan barang berbahan baku rotan untuk meubiler atau mebel,” kata Razali.

Namun sampai hari ini, hampir semua pemain rotan di Aceh paling tinggi menjadi pedagang rotan antar daerah/pulau. Dengan pengolahan rotan setengah jadi, persaingan akan terjadi di sisi suplai yaitu dalam hal mendapatkan bahan baku rotan mentah dari para pengumpul rotan di kecamatan.
Dan untuk dapat bersaing, perusahaan harus bisa membeli dengan harga yang lebih tinggi.

“Dengan menjadi pemasok rotan setengah jadi ke industri rotan dalam negeri, persaingan akan terjadi pada sisi permintaan dengan para pedagang rotan skala besar yang sudah mapan. Untuk dapat bersaing perusahaan harus bisa menjual dengan harga yang lebih murah sedikit,” jelasnya lagi.

Sementara untuk menjadi eksportir rotan setengah jadi, di Aceh belum ada kompetitornya, sementara di tingkat nasional akan bersaing dengan para pedagang rotan skala besar dari daerah lain seperti Kalimantan dan Sulawesi.

Razali memaparkan juga, nilai investasi industri mebel rotan dan kerajinan rotan pada 2010 senilai Rp 15 miliar, dengan sebaran dan perkiraan volume produksi rotan di Aceh mencapai 89.500 ton per tahun.

“Dari data sebaran dan perkiraan volume produksi rotan di Aceh, telah teridentifikasi tujuh jenis rotan yang sering diambil dan diperdagangkan oleh petani maupun pengusaha rotan di Aceh. Yang mempunyai nilai ekonomis adalah rotan manau, semambu, cacing, sega, tabu-tabu dan slimit serta jernang,” katanya.

Namun, sambungnya, hasil pantauan di lapangan ternyata dari tujuh jenis rotan tersebut, yang paling banyak produksinya dan paling sering diperdagangkan adalah rotan jenis manau dan slimit. (Medan Bisnis)