Jakarta — Meskipun dari tingkat kesiapan masih kurang, namun Indonesia tetap dinilai sebagai pasar bisnis yang seksi untuk cloud computing. Sehingga, wajar saja jika banyak yang ingin mengekspansi bisnis ini di Indonesia.

“Pasar cloud computing di Indonesia menyimpan potensi yang menggiurkan dan tetap seksi walau dari tingkat kesiapan untuk adopsi negara ini berada di posisi 11 dari 14 negara menurut Asiacloud.org,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia ICT institute Heru Sutadi, Senin (12/11).

Heru memaparkan, potensi besar bisnis ini ada di segmen UKM yang berjumlah 520 ribu, BUMN sekitar 117, sekolah 4.900, perguruan tinggi sekitar tiga ribuan, dan lebih dari 1.000 rumah sakit. Belum lagi dari operator telekomunikasi, baik yang berbasis teknologi GSM/UMTS, CDMA maupun WiMax.

“Pasar menjadi kian terbuka karena kompetisi belum ketat dan regulasi yang mengatur masih belum jelas. Ditambah lagi, big data akan jadi tantangan dan harapan bisnis cloud computing ke depan,” jelasnya.

Penggagas Indonesian Cloud Forum, Teguh Prasetya mengungkapkan, potensi yang paling cepat digarap adalah data center karena biasanya adopsi pertama cloud computing adalah virtualisasi yang membutuhkan data center.

“Ini bisnis yang besar. Namun, jika salah penanganan dan lalai dalam mengantisipasi bencana, maka siap-siap saja akan risiko terburuknya. Kerusakan infrastruktur bisa berdampak pada hilangnya investasi dan data keseluruhan,” katanya.

Menurutnya, para pebisnis dan penyelenggara data center di Indonesia harus siap jika kemungkinan buruk terjadi.

“Kita pernah mengalami bencana saat terjadi kebakaran di data center Jakarta belum lama ini. Di Amerika sekarang juga sedang pusing dengan adanya badai topan Sandy. Itu peringatan keras buat pemain data center di Indonesia,” ujarnya.

Menurut Teguh, disaster recovery data center berbasis cloud akan semakin diperlukan karena tingginya trafik lalu lintas data mobile dan cloud computing, serta adanya tren baru di bidang Big Data dan Business Intelligence.

Disaster recovery sangat diperlukan jika terjadi kerusakan jaringan yang berdampak pada komunikasi bisnis ke arah global, serta interupsi pada jaringan yang berdampak ada hilangnya data maupun matinya aplikasi.

Server aplikasi yang bersifat realtime maupun time sensitive juga menjadi terganggu kinerjanya atau bahkan mati yang bisa berakibat gangguan total pada layanan.

Terjadinya kerusakan infrastruktur juga berdampak pada hilangnya investasi dan data keseluruhan. Ini juga berlaku jika terjadi kerusakan data akibat human error, dampaknya juga akan masif.

“Tidak ada yang pasti terhadap setiap kejadian, tinggal yang susah di-recover bila terjadi kerusakan infrastruktur data center tersebut. Inilah peranan disaster recovery data center berbasis cloud. Memungkinkan transfer handling untuk data center tersebut buat user adalah seamless dan tidak berpengaruh pada layanan yang diberikan,” tegasnya.

Datacenter Dynamics Global Industry Census 2011 menunjukkan pasar Asia Tenggara memiliki tingkat pertumbuhan investasi pusat data tercepat di dunia selama 2011 dan 2012.

Pertumbuhannya mencapai 118%. Namun, pertumbuhan investasi ini tidak diiringi pertumbuhan pembangunan pusat data baru karena dalam 2 tahun fasilitas pusat data hanya tumbuh 11%.

Hal ini berarti, Asia Tenggara masih membutuhkan banyak pusat data baru untuk menudukung kebutuhan akan kapasitas TI di masa depan.

Catatan Datacenter Dynamics, negara dengan pertumbuhan investasi pusat data paling tinggi pada 2011 sampai 2012 yakni Turki, sebesar 60%. Posisi kedua ditempati Brasil sebesar 45%, berikutnya Kolombia sebesar 40%.

Deloitte memprediksi bisnis data center di Indonesia pada tahun ini mencapai Rp 2 triliun. Sedangkan kebutuhan akan kapasitas pusat data pada 2012 diperkirakan mencapai 100 ribu meter persegi. (detik.com)