Oleh Thayeb Loh Angen – Perempuan dalam budaya dan  peradaban Aceh sangat dihargai, sampai-sampai isteri disebut pemilik rumah (po reumoh), yang kemudian kata tersebut berubah sedikit menjadi purumoh. Telah  banyak contoh yang ditawarkan sejarah bagi yang bersedia percaya asal usul mereka. Belakangan muncul isu kesetaraan gender dari barat, yang mengajarkan kepada dunia bahwa perempuan dan lelaki punya hak yang sama.

Dalam budaya dan peradaban Aceh, kesetaraan gender telah ratusan tahun lalu diterapkan, saat negara-negara Eropa masih mengklaim perempuan sebagai warga negara kelas dua. Aceh pernah punya lakseumana perempuan terbesar sepanjang sejarah dunia, namun sejarah tersebut tidak dikenal luas karena, seperti kata Dan Brown dalam novel ‘The Da Vinci Code’nya.

Dan Brown dalam novel  ‘The Da Vinci Code’ nya, menulis, “Sejarah ditulis oleh pemenang.” Nah karena pemenang sejarah di bekas jajahan Belanda di putaran 1945 Masehi adalah orang-orang yang di pulau Jawa, maka Kartinilah yang ditulis, bukan Lakseumana Keumalahayati dan Sri ratu Safiatuddin. Ungkapan ini hanya bermaksud menulis kenyataan sejarah.

Penyerangan Belanda yang puluhan tahun di Aceh menghancurkan sebagian besar peradaban, dari sisa peninggalan situs dan artefak, sampai pemikiran dijajah Belanda sehingga kesetaraan gender di Aceh pun diganti dengan penjajahan perempuan seperti di negeri Belanda.

Keberadaan perempuan menurut Islam dipelesetkan secara perlahan di Aceh sehingga terbentuklah sebuah paham yang mengisukan perempuan tidak baik muncul di muka publik, padahal Aisyah ra. adalah tokoh perempuan yang tampil di muka publik.

Sekian lama sudah kekuasaan dipegang para lelaki, sehingga begitu muncul isu kesetaraan gender, maka para lelaki terkesima, terkejut dan ketakukan, merasa terancam akan hilangnya kekuasaannya, maka dicarilah alasan-alasan keagamaan untuk terus mengekang perempuan, yang sebenarnya itu bisa disebut mempolitisasi ajaran agama.

Di zaman ini, isu kesetaraan gender dari barat pun sampai ke Aceh, namun jadi polemik, karena yang memperjuangkan isu tersebut di Aceh adalah para perempuan sendiri, sementara para lelaki cenderung tidak mengakui setiap gerakan yang dibuat oleh perempuan, karena secara praktek, di zaman ini perempuan Aceh dianggap sebagai warga negara kelas dua, walau secara teori mengatakan membela hak perempuan.

Banyak organisasi yang dibangun untuk mengangkat hak dan emansipasi perempuan, namun forom-forum yang dilaksanakan bersifat sektoral dan komunitas serta dilakukan sesama perempuan.

Kenyataan berhasil sedikit, sedangkan bagian banyaknya para lelaki sebagian besar belum menggantikan paradigmanya tentang emansipasi perempuan dan perempuan sendiri sebagian keliru mengartikan emansipasi sehingga pemahaman yang ingin dibangun tentang emansipasi perempuan kepada lelaki belum banyak berhasil. Maka lelaki diminta membela emasipasi perempuan dan hak karena kita sama-sama tahu bahwa, kenyataan hak asasi antara lelaki dan perempuan adalah sama, selain hal yang bersifat seksuil.

Sepanjang sejarah, sebagian besar peradaban dunia dikuasai lelaki dengan mengesampingkan kemampuan besar perempuan karena dipandang dari penilaian para lelaki, sementara sudut pandang lelaki dan perempuan amat berbeda, dan perbedaan itulah yang semestinya dihormati karena itu anugerah semesta.

Organisasi perempuan memang baik dicetuskan lelaki sebagai pengabaran pada dunia bahwa membela hak emansipasi perempuan adalah tugas para lelaki dan perempuan, juga sangat wajar organisasi pembela perempuan dipimpin lelaki yang bersungguh membela hak perempuan. Memang harus dibuktikan pada dunia bahwa perempuan harus dibela oleh lelaki atau lelaki harus membela perempuan.

Kita, baik perempuan atau lelaki mari membangkitkan kembali semangat perempuan dalam membangun budaya dan peradaban bangsa, sebagaimana Lakseumana Keumalahayati dan Sri Ratu Safiatuddin pernah melakukannya dan menginginkan perempuan setelahnya, di zaman ini, ke depan agar mengikuti apa yang telah mereka berdua contohkan.[]

Thayeb Loh Angen, Inisiator lembaga ‘Perempuan Hadir.’