Cut Nadirasari menjalani dua kutub kehidupan yang berbeda. Gadis mungil asal Aceh ini merampungkan pendidikan dokter sekaligus menjadi Puteri. Ia mengalir mengikuti langkah kaki. Ringan, tanpa beban.

Keseharian Nadira di rumahnya jauh dari kesan seorang model yang telah beberapa kali memenangi kontes kecantikan. Meskipun tinggal di rumah tiga lantai yang sangat luas, hidupnya terbebas dari kesan glamor.

Menjumpai Nadira di rumahnya butuh perjuangan. Jalan menuju rumah bergaya klasik yang dibangun di tengah perkampungan padat penduduk di Jatibening, Bekasi, itu, penuh lubang dan lebar jalan hanya muat untuk satu mobil.

Keceriaan menjadi sajian utama saat bertemu Nadira. Ia tak pernah berhenti bercerita. Setengah berlari, ia menaiki tangga dan membuka pintu ruang keluarga di lantai dua. Di tempat duduk di samping ranjang besar, Nadira segera mengungkapkan kegembiraannya karena baru saja lulus sebagai dokter muda.

Sebelum melanjutkan perbincangan, ia menyajikan udang tepung goreng plus semangkuk es krim cokelat. ”Saya masak lho tadi. Saya hobi masak, tapi enggak suka nyuci piring,” katanya sambil tersenyum manis.

”Hari ini masak spageti. Kalau enggak buru-buru, saya suka nasi goreng dan sapo tahu,” katanya.

Mata tercantik

Nadira mulai jatuh cinta pada dunia model sejak masih SMA. Ia sempat minder karena dari kecil merasa tidak cantik. Kecuali orangtua, menurut Nadira, tidak ada seorang pun yang pernah memujinya cantik.

Namun, tampaknya, Nadira dan orang-orang lain itu keliru. Mata Nadira yang bulat dan selalu lekat menatap lawan bicara menjadi daya pikat yang khas. Ia lolos kompetisi pemilihan model dan kemudian masuk sepuluh besar ajang Miss Indonesia dan ikut tur ke Eropa.

Masih menggunakan kawat gigi, ia terpilih mewakili Indonesia ke Hongkong dalam kontes Asia’s Most Beautiful Eyes. Matanya cocok dengan deskripsi kecantikan mata orang Indonesia, yaitu ”almond shape eye”. Mata Nadira semakin menarik dipadukan dengan wajahnya yang mudah tersenyum.

”Di ajang Beautiful Eyes, gigi belum rata dan jempol cantengan sehingga enggak bisa pakai hak tinggi. Sementara yang lain kurus dan prepare. Saya bersyukur dari segi modeling ternyata wajah saya menjual,” ujar Nadira sembari tertawa.

Ajang Pemilihan Putri

Beberapa ajang pemilihan putri mulai dijajakinya. Tak sedikit kegagalan pula yang harus dilakoni. Itu semua dijalaninya termasuk terus mengasah kemampuannya dengan mengikuti beragam kursus termasuk kursus bahasa Spanyol, bahasa Belanda, Perancis, Inggris, dan Mandarin.

Kerja keras yang dilakoninya menuai hasil yang diharapkan. Pada tahun 2006, saat sedang berada di puncak kesibukan menjadi mahasiswa kedokteran, seorang sahabat yang berbaik hati mengambil formulir untuk dirinya sendiri dan untuk dirinya untuk mengikuti sebuah ajang pemilihan perempuan cantik di salah satu TV nasional.

“Sebenarnya saya ingin. Tapi tidak percaya diri dan agak takut dengan para pesaing yang pasti pinter-pinter. Dan benar. Waktu itu ada yang cum laude, ada yang semasa SMA di Australia sudah menjadi Senat, bahkan teman sekamar saya memiliki pengetahuan yang sangat luas, istilah-istilah yang digunakan banyak yang tidak saya mengerti. Sementara itu sahabat saya yang masuk 5 besar, mendapat beasiswa di Amerika,” katanya yang siang itu mengenakan busana dengan perpaduan warna hijau dan kuning.

Sementara itu kendala juga tak sedang ingin bermalas-malasan. Ujian dan kesibukan menjadi calon dokter pun terus meminta jatah waktu yang sama besar.

“Semester pendek itu kan cuma sebulan. Nah, waktu ikut salah satu perlombaan, saya masuk karantina 2 minggu. Kuliah hanya masuk 3 kali dua hari ujian. Untungnya ujian yang persiapannya pendek dan harus pinjam catatan sana-sini itu terbilang sukses. Lulus semua,” katanya sambil tertawa terbahak-bahak. “ Amazing, tapi setelah itu kapok. Dan disuruh ikut lagi di pemilihan putri yang lain saya menolak,” katanya dengan suaranya khasnya, sengau merdu.

Dua tahun kemudian Cut ditawari untuk mengikuti Putri Pariwisata. “Sebenarnya kalau nggak sampai dapet juara malu. Untungnya dapat juga juara dua. Jadinya ya seperti sekarang ini,” katanya sambil membenahi cara duduknya.

Banyak hal yang harus dibayar Cut saat mengikuti pemilihan Putri Pariwisata 2008. Dan lagi-lagi waktu karantina yang berbenturan dengan jadwal ujian. “Saya musti bolak-balik kampus dan tempat karantina. Latihan koreografi selesai tengah malam, dan pagi-pagi sekali saya harus sudah berangkat. Sementara peserta yang lain masih istirahat,” katanya masih dengan suara yang bersemangat dan bersahabat. Begitu juga gesturnya, sangat ekspresif, padahal baru beberapa jam bertemu namun suasana akrab dan ceria sudah terbangun. Bahkan sejak berjabat tangan hal itu sudah oktomagazine rasakan.

Bahkan ketika Cut bercerita tentang pengalaman yang paling berkesan menjadi seorang putri. Bukan pengalaman manis, tapi juga tidak pahit. Suatu hari, saat berada di Cina, disebuah pertemuan dibertemu dengan seorang yang boleh dikatakan penting. Kemudian mereka saling berdiskusi tentang Golf, kebetulan Cut juga hobby maka pembicaraan pun berlangsung seru dan mengasikkan. Sebelum meneruskan Cut sempat.

“Hingga pada suatu titik dia bertanya kepada saya tentang nama seorang menteri di jaman dahulu kala banget. Saya bisa lho, diam dan pura-pura tahu. Tapi saya putuskan untuk bertanya. Siapa ya, Pak. Dan betapa terkejutnya saya ketika bapak itu berkata, masak seorang putri tidak tahu,” katanya sambil mengekspresikan wajah ketidak percayaannya.

Dan ‘masak seorang putri tidak tahu’, diulang beberapa kali oleh Cut. Sebuah kalimat yang cukup mengejutkan sekaligus menyadarkan dia. Pengalaman tersebut sangat-sangat penting bagi Cut, sehingga setiap bertemu dengan calon-calon putri dia akan selalu mengingatkannya.

“Sulit sekali untuk seorang putri, setelah dia tidak menjabat sebagai seorang putri untuk being herself . Suka atau tidak suka image putri itu melekat pada diri saya. Bahkan saat saya beberapa kali menjadi diri sendiri, satu dua orang akan berkata, masak putri begitu!” pesannya.

Ketika Tiara Putri sudah disematkan. Masyarakat tidak akan pernah mau tahu siapa sebenarnya kita. Yang masyarakat tahu adalah seorang putri itu harus cantik, cerdas, dan tahu segalanya. Berat, tetapi Cut Nadirasari terbukti bisa melaluinya dengan baik. Hal tersebut dibuktikannya dengan gelar dokter yang sebentar lagi disandangnya dan kepribadiannya yang matang. (kompas.com/oktomagazine.com)