Dermaga Labuhan Haji malam itu berkelumun dalam kelam tiada berbintang. Sepertiga malam telah berlalu. Malam Rabu memang selalu begini, jatah telat berangkat agar kapal tidak paradok di dermaga seberang karena pada pagi yang sama ada sebuah kapal lain dari Singkil yang juga sama tujuan.

Beberapa menit lepas dari pukul dua puluh tiga, kapal mulai menggeliat. Biasanya, dermaga tua di persudutan laut Aceh Selatan itu masih tampak dari sepenggal lepas pantai, tetapi ini malam memang teramat kelam. Di atas geladak pun para penumpang seperti tak banyak bicara antar sesama. Hanya bendera Merah Putih yang tampak berkepakan di pucuk tiang yang berdiri di pilar-pilar ujung geladak.

Feri pelan-pelan semakin menjauh meninggalkan dermaga Labuhan Haji. Meski cuaca tidak begitu cerah pada awalnya, namun laut tenang pada mulanya. Di antara penumpang banyak yang menikmati perjalanan kendati kebanyakan menikmati dalam diam. Saya sendiri sedang menghayal sembari tubuh bersandar di pilar-pilar ujung palka seakan-akan saya sudah tiba di Simeulue. Di pucuk tiang yang berdiri di pilar-pilar ujung geladak, Merah Putih semakin berkepak-kepak dalam alunan gemulai irama gelombangnya karena angin tengah laut semakin menggelora.

Ketika tiba tengah malam dan kapal sudah berada di tengah laut, tiba-tiba badai menerpa bersama hujan yang menderas. Semua penghuni lantai geladak turun ke lantai dua, berlindung dari sapaan alam bebas tengah samudera yang ternyata hanya berlangsung tak sampai satu jam. Namun tadi saya sempat khawatir, apakah saya akan gagal mewujudkan impian saya berada di tengah-tengah pulau Simeulue. Dan sang Merah Putih kini pun layu, menekur dalam kebasahannya serta melengket-menempel pada tiang. Malah sebagiaannya sudah melilit tiang hingga bendera kita itu nyaris tinggal sebagian.

Dan tengah malam pun berlalu. Subuh menjelang. Laut terpana dalam sisa temaram. Feri memasuki Teluk Sinabang; merapat ke sisi dermaga. Penumpang berkemas-kemas; ada yang merangkul dua buntelan, menjinjing koper; yang muda-muda memanggul rangsel. Sebagai jurnalis yang sedang mengadakan perjalanan ke pulau yang sebelumnya belum pernah didatangi, saya segera mempersiapkan kamera dan ingin turun lebih awal dari rata-rata penumpang agar dapat memotret mereka dari depan. Tetapi ketika turun dari tangga kapal ke lantai dasar, saya teringat kepada Merah Putih, karena setelah badai tengah malam, beberapa lama setelah itu badai dan hujan datang menghempas sekali lagi.

Namun, oh, itu dia, Merah Putih masih berkibar di sana. Di bawahnya seorang anak lelaki bersandar dada dan dagu di besi pilar-pilar. Dia menekur laut dalam ketenangan alunan Teluk Sinabang. Saya memotret. Dan segera terekam seorang anak lelaki menekur laut dalam ketenangan alunan Teluk Sinabang di bawah bendera yang masih berkibar di sana, kendati sang Merah Putih lambaiannya sudah tinggal setengah, karena setengahnya lagi sudah terlanjur melilit-lekat pada tiang akibat badai tengah malam.(*/ha/musmarwan abdullah)