Banda Aceh – Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh berjanji segera membahas secara khusus tentang pengembangan kawasan objek wisata pantai Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, ke depan. Salah satunya, akan membentuk tim pengelola pantai tersebut, untuk mengawasi perbuatan-perbuatan maksiat.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banda Aceh, Drs Reza Fahlevi MSi, mengungkapkan itu sebagai tanggapan atas penutupan sementara kawasan wisata Ulee Lheue pada malam yang dilakukan atas kesepakatan masyarakat kecamatan itu. Belakangan ini, kawasan jalan menuju Pelabuhan Ulee Lheue ditutup mulai pukul 18.15-06.00 WIB, guna menghindari maksiat.

Penutupan jalan menuju pelabuhan Ulee Lheue itu memang mengundang kontroversi. Kawasan itu selama ini menjadi tujuan wisata yang paling menyedot warga Kota Banda Aceh dan sekitarnya pada sore dan malam. Selain dekat, lokasi ini juga menyuguhkan pemandangan yang indah.

Datangnya begitu banyak wisatawan lokal pada setiap sore hingga malam, tentu saja menghadirkan pula begitu banyak para pedagang jajanan. Ada puluhan penjual jagung bakar, minuman, mie, bakso, dan lain-lain di sepanjang jalan itu. Dan, mereka bisa menghidupkan keluarganya dari hasil berjualan.

Karenanya, ketika kawasan wisata Ulee Lheue itu pada malam para pedagang itu merasa kecewa. “Kami mendukung pencegahan dan pemberabntasan maksiat, tapi sebagai pedagang kami juga berharap bisa tetap jualan untuk menafkahi keluarga. Makanya, kami berharap ada kebijakan yang jelas bagi nasib kami. Karena dengan dagang kecil-kecilan seperti inilah, kami bisa menghidupi keluarga.”

Itulah antara lain “curhat” seorang penjual jagung bakar di sana. Keuchiek Ulee Lheue, Yasin, mengatakan penutupan sementara jalan menuju Pelabuhan Ulee Lheue pada malam hari, merupakan keputusan bersama masyarakat 16 gampong di Kecamatan Meuraxa, karena tak sanggup lagi melihat maksiat merajalela.

Mereka juga sedang berpikir tentang penggusuran warung remang-remang. Selanjutnya kawasan itu selanjutnya akan ditata ulang. “Karenanya, kami harap ada dasar dan kebijakan yang kuat nantinya untuk membuat kawasan Ulee Lheue ini terhindari dari hal-hal yang dilarang Allah,” ujarnya.

Nah, masalahnya sekarang ada pada Pemerintahan Kota, khususnya, Dinas Syariat Islam dan Dinas Pariwisata. Sebab, kasus Ulee Lheue ini sesungguhnya menggugat konsep wisata Islami yang belum jelas di daerah. Bertahun-tahun yang lalu Aceh sudah bicara soal wisata Islami. Tapi, hingga kini konsep itu sepertinya belum jelas.

Karenanya, pengembangan kawasan wisata di Aceh selalu “bertabrakan” dengan petugas Satpol PP dan WH (Dinas Syariat Islam) yang bertugas mencegah dan memberantas maksiat.

Justru itulah, penyelesaian problem Ulee Lheue sekaligus harus menuntaskan bagaimana sesungguhnya penerapan wisata islami di Aceh. Yang jelas, untuk membunuh tikus, tak harus membakar rumah, kan? (tribunnews)