Banda Aceh – Senin 9 April, Aceh akan memilih gubernur dan wakil gubernur serta 17 Walikota dan Bupati. Ada lima pintu gerbang menuju masa depan Aceh. Namun hanya tiga yang terungkap secara menarik.
Di bawah Cagub, Abi Lampisang, Aceh bermusyarawarah untuk menjalankan Shari’ah. Sedangkan mantan Gubernur Irwandi Yusuf, berjanji meneruskan program-program lamanya. Pasangan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf, menawarkan pelaksanaan sepenuhnya MoU Helsinki, kemandirian dan kesejahteraan.
Mampukah para calon menjaga demokrasi yang damai dan tertib untuk mengawal cita cita kesejahteraan itu?
Qanun jinayah. Yang paling jenaka tak pelak lagi adalah Mohammad Tajuddin alias Abi Lampisang. Satu-satunya pria berjubah putih di Aceh ini tak tanggung tanggung mengumbar impiannya. Dia berjanji akan ikut mencambuk para PNS bila bersalah, bahkan berterus terang setuju dengan qanun jinayah alias potong tangan bagi pencuri.
Di bawah kepemimpinannya, Aceh, katanya, akan kembali ke kejayaan Iskandar Muda. Selebihnya, cukup dengan musyawarah saja, maka segala masalah Aceh akan selesai. Dalam debat tv semalam, janji-janji Abi ini disambut dengan gelak tawa. Dia tak dianggap serius dan akan segera masuk kotak.
Debat normatif. Kelima pasangan dalam debat TV itu beretorika normatif. Hanya Cagub, mantan Wagub Muhammad Nazar tampil tangkas dengan cerita kongkrit. Debat itu hanya menjadi panggung senyum belaka. Pada akhirnya, momentum kepentingan mapan dan kemampuan memikat elektorat di desa-desa-lah yang akan menjadi penentu ketimbang program-program mereka.
Sebuah survey yang ditarik dari masa pra kampanye segera dilampaui oleh kenyataan yang berkembang di masa kampanye. Menurut hasil survey ORI, dua pasangan paling menonjol adalah kelompok independen bernomor 2, pasangan Irwandi-Muhyan, dan pasangan nomor 5, Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf yang disingkat ‘Zikir’ alias doa berrsama memuji Allah.
Serba gratis. Irwandi diduga akan meraih sekitar 22 persen, dan Zikir 46%. Tetapi dua kampanye besar terakhir, yaitu Irwandi di Banda Aceh dan Partai Aceh di Beureunuen, Pidie, menunjukkan wajah Aceh yang lebih nyata ketimbang panggung senyum di tv mau pun survey tadi.
Irwandi memaparkan akan melanjutkan program kesehatan gratis JKA, menjanjikan sekolah gratis hingga SMU, listrik gratis hingga 2 amper, dan memperbaiki infrastruktur. Apakah pendidikan cuma-cuma sejauh itu dimungkinkan, pemerintah pusat sendiri meragukannya. Kalangan kritik menunjuk pengobatan gratis itu menjadi riskan, bahkan berbahaya, jika tidak dikawal pelayanan profesional.
MoU Helsinki. Sebaliknya, Partai Aceh (PA) tampil dengan janji akan menyempurnakan pelaksaanaan MoU Helsinki dan UUPA (Undang Undang Pemerintahan Aceh), memandirikan ekonomi Aceh, serta meningkatkan kesejahteraan.
Memang pertumbuhan Aceh di bawah Gubernur Irwandi masih di bawah angka nasional (5% di bawah 6,5%) dan angka kemiskinannya pun lebih tinggi (20% di banding 17%). Namun Partai Aceh harus menghadapi tuduhan-tuduhan gencar, yang juga dinyatakan secara terbuka oleh Irwandi, mengenai peran PA dibalik teror dan kekerasan.
Cagub PA Zaini Abdullah hanya mengembalikan masalahnya kepada Kapolda yang sejauh ini tidak pernah memberi konfirmasi tentang tuduhan tuduhan tersebut.
Politikus tangkas. Kampanye kelompok independen Irwandi dan PA-nya Zaini menunjukkan trend politik populis dan trend politik kesejahteraan. Muzakkir Manaf, alias Mualem (artinya pakar kemiliteran), sang mantan panglima tentaranya GAM, telah berkembang menjadi politikus yang tangkas berbahasa awam, memancing selera populer dan mampu membuat rakyat terkesima.
Dengan Zaini yang didukung kalangan elit dan cendekia Banda Aceh, pasangan Zikir terbukti mampu membuat Aceh menjadi merah. Semerah warna partai maupun bendera GAM.
Simbolisme ini penting karena PA mencoba menarik dukungan rakyat Aceh yang 70% hidup di pedesaan. Dan dengan janji janji perdamaian di dalam kerangka NKRI, PA mencoba meyakinkan rakyat akan masa depan yang damai dan sejahtera. Tapi soal kesejahteraan, PA belum bisa menunjukkan bukti. Dalam hal ini, ada dugaan kelompok Irwandi lebih cepat mengembangkan kaitan dan keuntungan dengan kelompok-kelompok bisnis kuat di Jakarta.
Tionghoa Aceh. Namun, yang menarik pula, pertama kali masyarakat Tionghoa-Aceh yang mewakili baik kaum bisnis mau pun ulama Konghucu, memberi dukungan terbuka kepada PA yang merupakan isyarat harapan dan kredibilitas bagi PA.
Sebaliknya Irwandi harus menghadapi kritik yang berkembang seputar korupsi dan salah urus lingkungan hidup. Soal populisme, kelompok Irwandi pun tampil dengan gaya Sofyan Dawood, mantan kombatan yang mampu memikat rakyat seperti Muzakkir Manaf. Tapi apakah popularitasnya sebesar Mualem, menurut kalangan pengamat, ini amat diragukan.
Walhasil, masa depan Aceh boleh jadi akan diwarnai oleh PA-nya Zaini dan kelompok Irwandi. PA yang berbicara tentang perdamaian yang langgeng sesuai MoU Helsinki sebenarnya mencoba menanggapi akar rumput yang belum sama sekali bebas dari trauma masa konflik. Dengan modal inilah diduga PA dapat meraih kemenangan. Hanya PA yang mengedepankan perdamaian berdasarkan MoU Helsinki dan menanggapi nasib para janda dan anak dari para syuhada.
Jakarta. Tetapi untuk itu PA harus sekaligus meyakinkan Jakarta akan keteguhannya untuk tetap di dalam NKRI. Di sini PA harus membayar dengan merekrut empat jenderal, seorang diantaranya mantan Pangdam Mayjen Soenarko yang merupakan jenderal paling keras pasca-Helsinki terhadap pendukung GAM. Sekaligus PA ingin menggaet dukungan elektorat Aceh Tengah, Gayo dan Bener Meriah, tempat tempat Soenarko (yang beristrikan seorang perempuan Gayo) dulu menggalang milisi.
Tak heran, ini menjadi bahan ejekan terang-terangan oleh Sofyan Dawood dari kelompok Irwandi. Sebaliknya, para jenderal, terutama Soenarko yang diduga bekerja untuk Gerindra, ingin menarik keuntungan demi peluang partai-partai mereka pada Pemilu dan Pilpres 2014.
Jika Jakarta berharap keuntungan politik dari hasil Pemilukada Aceh ini, maka parnas (partai-partai nasional) tak boleh plin-plan dengan berkaki dua (Golkar dan PKS semuanya punya dua kaki, satu di PA, satu lagi di Irwandi), tapi harus berkonsolidasi. Hanya dengan cara itu, parnas dapat mendampingi PA dan pemenang Pemilukada lainnya, untuk ikut mengatur Aceh.
Aceh sendiri, dengan parlok dan independen, harus mampu melampaui masa awal demokrasi yang kekanak-kanakan dengan permainan provokasi, intimidasi dan kekerasan itu, untuk menuju demokrasi yang tertib. (Aboeprijadi Santoso/rnw)
Belum ada komentar