Jakarta — Harian Media Indonesia dalam editorialnya hari ini, Rabu (27/6) menyoroti terpilihnya Muhammad Mursi Isa al-Ayyat, sebagai presiden secara demokratis pasca tumbangnya rezim despotik Mubarak, sebagai pelajaran penting dalam mengelola negara bagi Indonesia.

Indonesia boleh berbangga menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Namun, untuk mengelola negara, negeri ini masih harus berguru dari mancanegara termasuk Mesir.

Mesir memang baru saja menjelma sebagai negara demokrasi. Untuk kali pertama setelah era monarki berakhir pada 1953, mereka memiliki pemimpin dari kalangan sipil dengan terpilihnya Muhammad Mursi sebagai presiden, Minggu (24/6). Musri mengalahkan Ahmed Shafiq, mantan perdana menteri di era diktator Hosni Mubarak. Pemimpin Ikhwanul Muslimin itu meraup 51,73% suara berbanding 48,37% suara dari 50,3 juta warga yang menggunakan hak pilih.

Kemenangan Mursi merupakan awal dari masa depan yang lebih menjanjikan bagi rakyat Mesir setelah puluhan tahun terkungkung kekuasaan militer. Kekhawatiran bahwa Mursi akan tetap mengekang kehidupan karena ia berasal dari partai politik beraliran keras tidak beralasan.

Pidato kemenangan yang ia gelorakan menyejukkan semua kalangan. Mursi, misalnya, menyatakan siap menjadi pemimpin bagi semua warga Mesir. Ia menyerukan persatuan nasional setelah seluruh energi dan darah rakyat terkuras menggulingkan Mubarak, kemudian tersita pada perlombaan polarisasi selama pemilu.

Bagi Mursi, seluruh rakyat Mesir entah itu buruh, sopir bus, pedagang, masinis, atau pelajar adalah keluarganya. Bagi Mursi, sekat-sekat agama dan status merupakan musuh peradaban yang wajib dirobohkan.

Mursi pun tidak menganggap dirinya sebagai penguasa. Rakyatlah yang akan menjadi sumber kekuasaan. Dia merasa tak memiliki hak, yang ada hanyalah kewajiban. Kewajiban sebagai pelayan untuk melayani rakyat.

Mursi memang baru empat hari terpilih sebagai Presiden Mesir dan akan dilantik pada Sabtu (30/6) nanti. Namun, seabrek pelajaran berharga sudah bertaburan darinya. Pidato yang ia sampaikan sarat dengan petuah yang patut diteladani oleh pengelola Republik ini.

Mursi mengajarkan bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap. Ia menempatkan diri bukan sebagai penguasa, melainkan pelayan. Ia menempatkan toleransi di atas segala-galanya. Ia mengubur dalam-dalam perbedaan. Sikap-sikap itulah yang semestinya menjadi pijakan para pemimpin dan elite negeri ini. Akan tetapi, fakta yang ada justru sebaliknya. Bukannya menjadi pelayan, mereka malah meminta dilayani.

Pemimpin di Republik ini terus berasyik ria memanjakan diri dan selalu surplus syahwat untuk menggerus uang rakyat lewat korupsi. Mereka juga masih cenderung membiarkan, bahkan terkesan memfasilitasi kekerasan atas nama agama. Intoleransi diberi ruang seluas-luasnya.

Mursi sebenarnya bukanlah contoh pertama bagaimana menakhodai negara. Seabrek pelajaran ditunjukkan para pemimpin mancanegara. Pada Februari silam, Presiden Jerman Christian Wulff mengajarkan kita untuk sekadar memiliki rasa malu. Wulff mundur karena malu diguncang pemberitaan skandal korupsi.

Banyak pemimpin di Brasil, Jepang, atau Korea yang juga menyodorkan teladan bagaimana bersikap kesatria.

Pelajaran demi pelajaran soal mengelola negara terus bertaburan dari luar negeri. Sayangnya, itu semua tak pernah membuat pemimpin dan elite negeri ini menjadi pintar, bersih, dan arif. (IRIB Indonesia/Media Indonesia)