Banda Aceh – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai akivitas penambangan besi oleh PT Lhoong Setia Minning (LSM) di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar meresahkan masyarakat. Karenanya, Pemerintah Aceh diminta mencabut kembali Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 29 tentang Amdal dari perusahaan tersebut.

Hal itu disampaikan Direktur Walhi Aceh Teuku Muhamad Zulfikar, Senin (22/3/2010) menyikapi demonstrasi warga di lokasi penambangan yang meminta menghentikan aktivitas PT LSM.

Menurut Muhammad Zulfikar, selain meresahkan warga setempat yang lahannya ditambangi perusahaan tersebut, PT LSM dinilainya telah mengkhianati keputusan yang telah disepakati bersama warga yang ditetapkan dalam pertemuan dengan DPRA.

“Pemerintah Aceh harus segera menginstruksikan PT LSM menghentikan kegiatan penambangan di wilayah tersebut. Jika tidak dihiraukan, laporkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses lebih lanjut,” katanya.

Kata dia, dari awal WALHI Aceh telah mencium adanya aroma tidak wajar pada proses penambangan biji besi oleh PT LSM di Lhoong. Dia mencurigai perizinan eksplorasi ke tahap eksploitasi perusahaan tersebut yang terbit dalam tempo empat bulan.

Bahkan, izin diberikan seluas 500 hektar selama 20 tahun masuk ke wilayah Desa Jantang, Blang Mee, Geunteut Baroh dan Geunteut Tunong di Kecamatan Lhoong. “Bayangkan saja bagaimana mungkin hanya dalam tempo empat bulan saja pihak PT LSM sudah mendapat izin segalanya,” tuturnya.

Keanehan lainnya, tambahnya Zulfikar, yaitu pada proses pembahasan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang tidak menghadirkan tokoh masyarakat Lhoong.

Menurut Zulfikar, berdasarkan pasal 34 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Amdal menyebutkan, wajib melibatkan warga dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, dan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pematauan lingkungan hidup.

“Celakanya lagi, PT LSM tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait aktivitas yang akan dkerjakan, padahal itu sudah diatur dalam PP 27 Tahun 199 tentang AMDAL Pasal 33 ayat (1),” teranganya lagi.

Berdasarkan dokumen Amdal PT LSM, sistem penambangan dilakukan dengan proses tambang terbuka (surface mining). Menurut dia, sistem ini akan mengubah bentuk lahan dan bentang alam melalui proses pengerukan yang berakibat lahan di sekitar kawasan akan terganggu kesuburannya.

“Mau menanam apalagi petani di Lhoong jika lahannya sudah tidak subur lagi,” katanya.

Walhi Aceh juga telah melakukan investigasi ke lokasi dan di sekitar penambangan. Aktivis lingkungan ini menyimpulkan beberapa hal terkait dampak dari penambangan yang dilakukan PT LSM.

Zulfikar merincikan, warga sering dikejutkan oleh suara-suara ledakan yang ditimbulkan oleh aktivitas peledakan yang dilakukan perusahaan. Kemudian debu-debu hasil ledakan juga beterbangan hingga mencemari pemukiman warga serta sumur-sumur warga. Dampak besar lainnya dari aktivitas tersebut terhadap lingkungan adalah tercemarnya sungai yang ada di sekitar, misalnya Krueng Geunteut yang merupakan satu-satunya sungai yang masuk dalam areal konsesi.

“Kemudian debit air Krueng Geunteut pasti akan mengecil dan berkurang. Selain itu pembukaan hutan untuk pengambilan material bijih besi di Daerah Aliran Sungai (DAS) akan merusak wilayah tangkapan air,” urainya.

“Sudah sepatutnya Pemerintah Aceh mengambil tindakan tegas dengan segera mencabut kembali Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 29 Tahun 2008 tentang Amdal PT LSM,” harapnya.(*/ha/min)