Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata, “Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta’ala tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta’ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta’ala, sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya.

Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta’ala, dan disyariatkannya (i’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat.

Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak.

Dan disyariatkannya i’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta’ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuanya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah.

Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu”. [Zaadul Ma’ad 2/86-87]

Menurut bahasa i’tikaf memiliki arti menetapi sesuatu & menahan diri agar senantiasa tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan ataupun keburukan.

Allah subhanahu wata’ala berfirman, yang artinya, “Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kpd sesuatu kaum yg beri’tikaf (menyembah) berhala mereka.” (Al Qur’an Surat: al-A’raf :138)

Sedangkan menurut syara’ i’tikaf berarti menetapnya seorang muslim di dalam masjid utk melaksanakan ketaatan & ibadah kepada Allah.

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf hukumnya sunnah, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa melakukannya tiap tahun utk mendekatkan diri kpd Allah subhanahu wata’ala & memohon pahala-Nya. Terutama pd hari-hari di bulan Ramadhan dan lebih khusus ketika memasuki sepuluh hari terkahir pd bulan suci itu. Demikian tuntunan yg diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Yang Wajib Beri’tikaf

Sebagaimana dimaklumi bahwa i’tikaf hukumnya adalah sunnah, kecuali jika seseorang bernadzar untuk melakukannya, maka wajib baginya untuk menunaikan nadzar tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan imam al-Bukhari & Muslim. Disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tdk pernah meninggalkan i’tikaf semenjak beliau tinggal di Madinah hingga akhir hayat.

Tempat I’tikaf

I’tikaf tempatnya di setiap masjid yg di dalamnya dilaksanakan shalat berjama’ah kaum laki-laki, firman Allah Ta’ala, artinya, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Qur’an Surat: al- Baqarah:187)

Orang yg beri’tikaf pada hari Jum’at disunnahkan untuk beri’tikaf di masjid yang digunakan untuk shalat Jum’at. Tetapi jika ia beri’tikaf di masjid yang hanya untuk shalat jama’ah 5 waktu saja, maka hendaknya ia keluar hanya sekedar untuk shalat Jum’at (jika telah tiba waktunya), kemudian kembali lagi ke tempat iktikafnya semula.

Waktu I’tikaf

I’tikaf disunnahkan kapan saja di sembarang waktu. Maka diperbolehkan bagi setiap muslim untuk memilih waktu kapan ia memulai iktikaf dan kapan mengakhirinya. Akan tetapi yg paling utama adalah di bulan suci Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir. Inilah waktu i’tikaf yg terbaik sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, artinya, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu beri’tikaf pd sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR .al-Bukhari & Muslim dari A’isyah radhiyallahu ‘anha)

Hal-Hal yg Membolehkan Mu’takif Keluar dari Masjid

Seorang yang melakukan i’tikat (mu’takif) diperbolehkan meninggalkan tempat i’tikafnya jika memang ada hal-hal yg sangat mendesak. Di antaranya adalah buang hajat, yaitu ke WC utk buang air, mandi, keluar untuk makan dan minum jika tidak ada yg mengantarkan makanan kepadanya, serta pergi untuk  berobat jika sakit.

Demikian pula untuk keperluan syar’i seperti shalat Jum’at, jika tempat ia beriktikaf tidak digunakan untuk shalat Jum’at, menjadi saksi atas sesuatu perkara dan juga boleh membantu keluarganya yg sakit, jika memang mengharuskan utk dibantu. Juga keperluan-keperluan semisalnya yg memang termasuk kategori dharuri (keharusan).

Hikmah dan Manfaat i’tikaf

I’tikaf memiliki hikmah yg sangat besar yakni menghidupkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan menghidupkan hati dengan selalu melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta’ala. Sarana i’tikaf ini berguna juga, diantara:

  • Untuk merenungi masa lalu dan memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di hari esok.
  • Mendatangkan ketenangan, ketentraman dan cahaya yang menerangi hati yang penuh dosa.
  • Mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah subhanahu wata’ala. Amalan-amalan kita akan diangkat dgn rahmat & kasih sayang-Nya.
  • Orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terkahir akhir bulan Ramadhan akan terbebas dari dosa-dosa karena salah satunya bertepatan dengan lailatul qadar.

Sunnah-Sunnah bagi Orang yang Sedang I’tikaf

Disunnahkan bagi para mu’takif supaya memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untu berdzikir, membaca Al-Qur’an, mengerjakan shalat sunnah, terkecuali pada waktu-waktu terlarang, serta memperbanyak tafakur tentang keadaannya yang telah lalu, hari ini dan masa mendatang. Juga banyak-banyak merenungkan tentang hakikat hidup di dunia ini dan kehidupan akhirat kelak.

Hal-Hal yang harus Dihindari Mu’takif

Orang yang sedang i’tikaf dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat seperti banyak bercanda, mengobrol yang tidak berguna sehingga mengganggu konsentrasi i’tikafnya. Karena i’tikaf adalah bertujuan untuk mendapatkan keutamaan bukan malah menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak disunnahkan.

Ada sebagian orang yang beri’tikaf, namun dengan meninggalkan tugas dan kewajibannya. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena sungguh tidak proporsional seseorang meninggalkan kewajiban untuk sesuatu yang sunnah. Oleh karena itu, orang yang i’tikaf hendaknya ia menghentikan i’tikafnya, jika memiliki tanggungan atau kewajiban yang harus dikerjakan.

Semoga saja diakhir bulan Ramadhan kita termasuk dalam orang-orang yang benar-benar bersih dan mendapat ampunan dari Allah Ta’ala. (*/alsofwah.or.id)