[quote]Oleh Mustafa A Glanggang[/quote]
KETIKA Gus Dur menyebut kata itu, Dia tidak bermaksud memberikan “kartu merah” kepada “pemain” yang melangar aturan dalam sebuah “pertandingan”. Sebab, pada era 1980-an semua permainan harus merujuk kepada titah penguasa era itu, yaitu Soeharto. Ketegasan Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PB-NU) di lapangan kebijakannya sangat jelas, yaitu kembali ke Khittah agar permainan tidak terjadi free kick. Khittah ini istilah dalam bahasa Arab yang artinya garis.
Pembatasan ruang gerak, tak hanya berlaku pada permainan olahraga saja. Seperti lapangan bola kaki berbentuk empat segi mempunyai garis-garis yang membatasi ruang gerak para pemainnya, dengan ukuran 100 X 80 meter. Lapangan volly bal 6 X 12 meter. Lapangan tenis meja meskipun bermain di atas meja berwarna hijau berukuran 274 x 152,5 cm, dan dibatasi garis warna putih. Begitu juga pertandingan Sumo di negeri Jepang, lapangannya bulat juga ada garis pembatas. Bahkan lapangan atletik, lempar lembing, lari marathon, dan lompat tinggi, juga dibuat garis pembatas atau garis finish.
Pun demikian kebijakan garis mengaris bukan hanya berlaku di lapangan olahraga milik para olahragawan, tapi juga dikenal di dunia politik, sosial, budaya dan agama. Sebut saja sebagai aktivis yang aktif dalam sebuah negara atau organisasi apapun namanya. Di sana ada anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) atau berbagai ketentuan dan peraturan lainnya. Begitu juga bila hidup dalam bermasyarakat, norma-norma adat istiadat adalah garis pembatas ruang bagi seseorang yang harus dipatuhi.
Setelah pembatasan lapangan ditetapkan dalam bentuk garis. Maka semua permainan dalam suatu kompetisi di lapangan wajib mengikuti dengan penuh kesadaran dan ketabahan. Menghindari terjadi manipulasi dalam pertandingan, dibutuhkan seorang atau beberapa orang yang ditunjuk sebagai wasit. Merekalah yang bertindak sebagai hakim dalam pertandingan. Keputusan mereka tidak boleh diganggu-gugat. Keputusan hakim bersifat mutlak, kecuali dalam beberapa kasus yang perlu dibawa dalam sidang disiplin. Sikap ‘separatis’ untuk protes tetap dilayani, namun tak serta merta mampu menganulir keputusan yang telah dikeluarkan. Artinya, keinginan sang kapten suatu kesebelasan yang memprotes sebuah keputusan wasit jarang membuahkan hasil.
Untuk merebut kemenangan dalam permainan apapun, tidaklah semudah teorinya. Sebab, kawan tanding adalah juga sekaligus musuh dalam tanda petik. Musuh tanding memberi kita bentuk, seperti juga sebaliknya kebencian dan kewaspadaan memberi kita kekuatan. Nah, bagi para olahragawan atau para politisi berjiwa tanding dengan rivalnya di sanalah lahir ide atau gagasan. Beginilah cara yang lebih gampang mengetahui kekuatan lawan.
Mungkin itu sebabnya, para pelatih tidak mampu menampakkan wujud totalitasnya, dalam mengeksperasikan garis-garis pembatas yang telah dituangkan dalam kertas kerjanya. Apa yang dipaparkan manajer kesebelasan, tidak dengan sendirinya membawa keberuntungan untuk tim asuhan mereka. Tumpukan teori tentang memenangkan pertandingan di atas kertas sangat berbeda dengan hasil di lapangan tempur.
Sebagai ilustrasi, masyarakat dunia pernah menyaksikan kesebelasan Argentina memperoleh prediket juara dunia sepakbola pada kompetisi tahun 1986. Diego Armando Maradona, mega-bintang Argentina melakukan pelanggaran, memasukan bola ke gawang lawan mengunakan tangan. Hakim yang memimpin pertandingan menyatakan gol Maradona sah. Padahal semua penonton yang melihat pertandingan langsung melalui layar televisi melihat Maradona menjebolkan gawang Inggris saat itu menggunakan tangan. Apa kata Maradona? “Itu bukan tanganku. Tapi Tuhan ikut bermain denganku,” begitu semua media mengutip pernyataan Maradona usai memberi gelar juara dunia untuk kesebelasan Argentina.
Itulah permainan. Terkadang ketika lawan paling tangguh tidak dapat ditaklukan secara fisik, maka teori psy-war (perang urat saraf) untuk memancing emosi lawan menjadi niscaya. Dalam posisi ini para hakim atau wasit tidak bisa mentedeksinya, kecuali muncul dalam bentuk konkrit. Perhatikan bagaimana cara Italia memupuskan harapan Perancis menjuarai Piala Dunia 2006. Sosok Marco Matterazzi (bek Timnas Italia) sukses memprovokasi sang kapten Ayam Jantan (julukan untuk Timnas Perancis) Zinedine Zidane untuk melakukan hal-hal yang bisa mengacaukan fokusnya dalam permainan. Zidane menanduk dada Matterazzi dan membuatnya dikeluarkan dari lapangan oleh wasit yang memimpin pertandingan. Hasilnya, Italia sukses menundukkan Perancis melalui drama adu-pinalti.
Dua peristiwa di dunia sepakbola ini sama-sama terjadi di depan mata wasit yang memimpin pertandingan.
Maradona dianggap tak ‘bersalah’, sementara Zidane melanggar ketentuan pesepakbolaan dunia yang dikeluarkan oganisasi FIFA. Meskipun kedua kasus ini langka terjadi, biasanya seorang pelatih ikut mengajarkan secara implisit cara-cara meraih kemenangan, di luar teknik dan taktik permainan.
Dalam sebuah pertarungan, hasil terakhir yang diinginkan adalah menang atau kalah. Keinginan ini berlaku untuk semua pertandingan atau semua perebutan, entah itu perebutan piala dalam bentuk emas, atau perebutan kekuasaan dalam suatu organisasi sosial politik. Begitu juga perebutan kekuasaan dalam sebuah negara melalui suara rakyat atau sistem parlementer.
Kembali ke persoalan garis-menggaris dalam sebuah permainan. Sama halnya bagi seorang pengendara kendaraan, bila tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas akan berakibat fatal yaitu kecelakaan. Begitu juga dengan gaya dan sistem permainan olahraga, menggunakan cara-cara kasar dan tidak sportif. Dalam koridor garis-garis pembatas, mungkin masih ada wasit yang memberi penilaian untuk menyatakan permainan bisa dilanjutkan atau dihentikan sampai di sini. Tapi, dalam kasus-kasus tertentu justru bisa mencederai fisik sang pemain. Ini sangat riskan terjadi.
Padahal, bermain secara santun alias bersikap terpuji tak hanya mengundang simpati penonton plus hasil maksimal. Ada batas-batas garis atau ketentuan yang disepakati untuk mengontrol jalannya pertandingan. Karenanya, garis-garis pembatas itu tak boleh dilanggar, kecuali kita tak menginginkan permainan berlangsung fair dan sportif! Itulah khittah sebuah permainan.[]
Belum ada komentar