Seputaraceh

Belajar dari Gempa di Aceh

Belajar dari Gempa di Aceh
Belajar dari Gempa di Aceh
Despite the panic caused by the earthquake and subsequent aftershocks, there have been no immediate reports of serious damage or casualties.
Kemacetan pun terjadi diberbagai ruas jalan sesaat setelah gempa berlangsung, Banda Aceh

Tak dapat dimungkiri, Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan gempa bumi dan juga tsunami. Para pakar geologi menyebutkan sedikitnya ada 13 wilayah yang paling rawan digoyang gempa tektonik karena berada pada pertemuan lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.

Wilayah yang rawan gempa adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua. Relatif hanya Kalimantan yang bebas gempa bumi.

Bertolak dari kenyataan tersebut, tak heran bila wilayah Simeulue, Aceh, menjadi pusat gempa pada Rabu (11/4) berkekuatan 8,5 SR dan 8,1 SR. Getarannya terasa sampai ke Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Bahkan, tsunami kecil sempat melanda sebagian kawasan pantai Simeulue. Berdasarkan data yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tercatat lima korban meninggal, satu orang kritis, dan enam orang menderita luka ringan. Sedangkan kerusakan akibat gempa tersebut hingga kini masih diinventarisasi.

Bila dibandingkan dengan gempa Aceh pada 2004, jumlah korban saat ini relatif sangat sedikit. Persoalannya bukan terletak pada sedikit-banyaknya korban, tetapi yang utama adalah meminimalisasi jumlah korban, bahkan yang ideal adalah tak perlu ada korban apabila terjadi gempa bumi. Bagi kita, persoalan meminimalisasi jumlah korban, bahkan tanpa korban, merupakan tugas pemerintah, BNPB dan jajarannya di daerah, serta masyarakat. Untuk itu, sosialisasi dan mitigasi bencana merupakan hal utama yang harus dikumandangkan.

Setelah berulang kali Indonesia dilanda gempa besar dan tsunami, kesadaran terhadap bahaya bencana terus tumbuh. Masyarakat semakin menyadari bahwa mereka harus selalu waspada karena tak ada yang tahu kapan dan di mana gempa akan terjadi. Terkait hal itu, kita memberikan sejumlah catatan agar ke depan dampak gempa bumi bisa diminimalisasi.

Pertama, penyebaran informasi secara cepat kepada masyarakat melalui televisi, radio, pesan singkat, dan berbagai media sosial, serta peralatan tradisional, seperti kentongan dan juga pengeras suara di masjid, merupakan langkah awal penyelamatan nyawa manusia. Kita mengapresiasi kecepatan penerusan informasi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kepada masyarakat melalui jaringan televisi nasional saat gempa Aceh terjadi.

Beberapa peristiwa gempa sebelumnya yang berpotensi tsunami juga langsung disebarluaskan. Persoalannya, tak semua warga, khususnya di daerah pelosok dan terpencil, memiliki media elektronik itu. Untuk itu, ketersediaan sarana komunikasi, seperti telepon satelit dan radio amatir, wajib dimiliki aparatur pemerintah, termasuk Kepolisian dan TNI, agar informasi penting tersebut bisa langsung diteruskan kepada masyarakat.

Kedua, sosialisasi tentang upaya penyelamatan diri dan pencarian tempat perlindungan harus terus digalakkan. Apabila setiap individu mengetahui hal apa saja yang wajib dilakukan sesaat setelah gempa, kita yakin korban akan bisa diminimalisasi.

Ketiga, penyiapan jalur dan sistem evakuasi agar tidak terjadi kepanikan, terutama bila gempa berpotensi menimbulkan tsunami. Dalam beberapa kasus, korban justru berjatuhan saat saling berebut menyelamatkan diri karena terjatuh, terinjak, atau tertabrak.

Keempat, kesigapan aparat BNPB, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), aparat Kepolisian dan TNI, serta sukarelawan, mengevakuasi warga di daerah yang dilanda gempa. Sejalan dengan itu, kecekatan menyelamatkan korban dari reruntuhan bangunan juga menjadi faktor penting untuk meminimalisasi jumlah korban. Kita bisa belajar dari Jepang yang sigap menangani korban saat sebagian wilayahnya diguncang gempa 8,8 SR dan tsunami pada Maret 2011.

Masyarakat Jepang berhasil beradaptasi dengan lingkungannya yang rawan gempa. Sistem peringatan dini (early warning system) dan standardisasi evakuasi warga membuat jumlah korban dapat ditekan seminimal mungkin. Bahkan, beberapa korban yang tertimbun reruntuhan selama beberapa hari akhirnya dapat diselamatkan. Kesiapan dokter dan tenaga medis, serta peralatan kedokteran, dalam penanganan korban juga wajib diperhatikan.

Kelima, pemerintah pusat dan daerah harus terus memasyarakatkan penggunaan konstruksi rumah yang tahan gempa, termasuk penggunaan bahan-bahan lokal yang ringan, seperti bambu. Sejalan dengan itu, pembuatan rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebaiknya memperhatikan aspek kebencanaan, sehingga bangunan privat dan publik tidak lagi berada di kawasan rawan bencana.

Keenam, memasukkan materi kebencanaan dalam kurikulum atau mata pelajaran di sekolah. Edukasi kebencanaan dan simulasinya diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran sejak dini kepada anak-anak. Pengetahuan itu kemudian bisa ditularkan ke keluarga dan lingkungan tempat tinggal. Apabila hal-hal itu dijalankan secara konsisten, kita yakin korban gempa dan tsunami bisa diminimalisasi. Kita tak ingin sejengkal pun wilayah Indonesia dilanda bencana, tetapi kita pun harus selalu waspada dan siap menghadapinya sewaktu-waktu. (suarapembaruan)

Belum ada komentar

Berita Terkait