Aceh kembali diguncang gempa, Rabu (11/4) pukul 15.38 WIB, berpusat di Simeuleu. Kekuatannya 8,5 skala Richter (SR) pada kedalaman 10 kilometer. Gempa susulan terjadi pukul 16.28 WIB berkekuatan 6,5 SR, dan pukul 17.43 WIB dengan kekuatan 8,8 SR. BMKG mencatat delapan kali gempa selama dua jam Rabu kemarin.

Wajar jika kepanikan warga membahana di segala penjuru Tanah Rencong. Pasalnya, trauma pascagempa dan tsunami 2004 lalu yang menewaskan 165.708 jiwa belum sepenuhnya hilang.

Gambaran kepanikan warga terjadi hampir di tiap sudut kota. Listrik mati, lampu lalu lintas tak berfungsi, kemacetan total terjadi di hampir semua jalan. Hampir semua warga keluar rumah dan berlarian menuju tempat yang lebih tinggi dan jauh dari pantai.

Tak hanya di Aceh, kota lain seperti Padang, bahkan negara tetangga ikut memberikan warning kepada warganya terkait dampak gempa Aceh itu. Bahkan Thailand sempat menutup bandara internasionalnya selama beberapa jam.

Polisi dan tentara yang dikerahkan mengatur alur evakuasi di Aceh tak berkutik. Beberapa aparat keamanan yang dibutuhkan tenaganya untuk memenej kepanikan warga justru memilih ikut melarikan diri.

“Kami harus lari. Gempa ini terasa sama dengan 2004, dan lebih lama. Kami sangat takut Tsunami. Apalagi semua orang lari,” kata Ali Hanafiah (46) yang tinggal 100 meter dari pantai ini.

Warga Kampung Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh itu tak ambil pusing. Ia langsung membawa istri dan empat anaknya menuju Lueng Bata, sebuah daerah yang cukup jauh dari pantai. Ia mengaku tak mempedulikan apapun selain keselamatan diri dan keluarganya. Ia mengaku trauma kehilangan dua anaknya saat tsunami 2004 lalu. “Dua anak saya hilang saat itu, karena saya terlambat membawa mereka pergi,” ucap pengayuh becak ini.

Tak hanya Ali, ratusan orang tampak membawa paksa keluarganya keluar dari rumah sakit meski masih terbaring lemah. Ratusan pasien dikeluarkan dari ruangan karena takut gempa meruntuhkan bangunan rumah sakit. Akibatnya, halaman sejumlah rumah sakit dipenuhi kereta dorong lengkap dengan infus yang menancap di tangan pasien.

Ribuan warga Meulaboh berlarian pontang-panting setelah mendengar isu tsunami menjamah kota mereka. Hingga kini baru tercatat satu orang meninggal, Yatim Kulam, warga Banda Aceh. Ia meninggal karena diduga menderita penyakit jantung.

Melihat gambaran kepanikan warga itu menandakan bahwa sistem peringatan dini dan pengaturan alur evakuasi pascagempa belum sepenuhnya berjalan baik. “Saya tidak mendengar suara sirene tsunami pascagempa,” kata Ayu Konella, warga Lamlagang, Banda Aceh.

Dalam kondisi ini diperlukan kerja sama semua pihak. Tak hanya petugas BMKG dan aparat saja yang bertindak. Kepanikan memang wajar terjadi, tapi aturan main seperti yang kerap disosialisasikan juga harus dipraktikkan.

Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah merupakan pihak paling bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Namun, tanpa partisipasi aktif masyarakat, pemerintah tidak akan bisa berbuat banyak.

Partisipasi aktif masyarakat ini juga dibutuhkan dalam rangka pemulihan pascagempa. Contoh yang bagus bisa diambil dari peristiwa gempa Yogyakarta 2006 lalu. Pemulihan kehidupan di Kabupaten Bantul cepat terjadi karena partisipasi aktif masyarakat yang bersinergi dengan elemen masyarakat lain (media, LSM, swasta, perguruan tinggi) bersama pemerintah.

Terlepas dari kekurangan di sana-sini, kita patut bersyukur gempa besar di Aceh tidak menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar.

Dari banyak peristiwa alam, kita bisa mengambil hikmah, bahwa kekuatan manusia tidak akan mampu menandingi kekuatan alam. Contohnya di Jepang, secanggih apa pun negara ini, tetap saja ada nyawa warganya yang hilang saat terjadi tsunami beberapa waktu lalu. Bahkan instalasi nuklir yang telah dilisensi “super aman” dari gangguan apapun, tetap saja terkena dampaknya.

Di sisi lain, betapapun besarnya kekuatan bencana alam, jika manusia punya ilmu untuk mengatasinya, bisa meminimalisasi dampak negatif yang mengancam menghadapi bencana berikutnya. (Sudi/Banjarmasin Post)